2 - Toilet Keramat

8.6K 560 11
                                    


Lu mungkin bakal berpikir gue aneh, tapi ini beneran, semenjak masuk ke kantor ini gua jadi takut sama yang namanya toilet kantor. Nggak, bukan karena katanya toilet banyak makhluk halusnya, atau toiletnya bentuknya serem, atau jorok, bukan itu. Gue nggak sesakti itu buat ngeliat makhluk halus, malah ini menurut gue jauh lebih serem dari makhluk halus.

Penyebabnya, gue nggak tahu kenapa, tapi gue selalu ketemu Pakdhe waktu mau ke toilet!

Jangan lu tanya gue, karena udah dibilang, gue juga nggak tahu kenapa. Jadi, toilet kantor kita itu pintu masuknya berhadapan. Toilet cowok, dan toilet cewek, itu untuk umum. Sebetulnya, di kantor itu ada toilet khusus untuk para eksekutif yang artinya boleh dipakai manager up. Konon katanya nyaman banget, ber-AC, sampai katanya ada meja laptop dan chargernya (gue nggak kebayang lu boker sambil bawa laptop).

Sayangnya, toilet 'umum' ini lebih deket ke ruangannya Pakdhe. Jadi daripada dia harus muterin satu workspace hanya untuk menjangkau toilet eksekutif, dia lebih memilih ke toilet 'umum', yang letaknya persis di belakang ruangan dia. Gue yang cuma bisa memakai toilet umum, mau nggak mau harus sering papasan sama Pakdhe, 'kan! Ya gara-gara inilah gue kadang pengen naik ke lantai 23 dan memaki-maki developer gedung, kenapa sih bangun toilet umumnya deket banget sama ruangannya Pakdhe, jauh dikit napa! Muterin satu gedung, kek!

Hari sudah petang. Jam laptop gue menunjukkan pukul 18.42. Kalau kata Eve selaku duta pelit nasional, kita itu udah layak dibayar lembur 12 menit, karena di kontrak kita kan jam kantor cuma 18.30.

Eve, yang waktu itu duduk di depan gue, menepok tangannya di depan muka gue yang masih berkutat di depan laptop. "Udah, ngapain sih kerja terus?"

Gue mendongak dengan agak malas, "Lu kan udah gue ceritain. Ini lho, Pakdhe. Dia minta revisi report jam 3 tadi."

"Yaelah, itu kan bisa besok! Kalo kerjaan diselesein sekarang, lu besok mau ngapain?"

Iya juga ya.

"Udah, mendingan lu ikut gue ke toilet!" Eve menarik tangan gue. Gue segera menepis tangannya.

"Eh, tunggu Pakdhe offline, lah!"

Ia menyipitkan matanya yang memang sudah sipit. "Lah, emang sekarang dia lagi nyariin lu?"

"Enggak."

"Lah trus ngapain harus nunggu dia offline? Pipis mah pipis aja, kali!"

"Nggak mau pokoknya! Toilet itu keramat! Apalagi di jam-jam segini!"

"Bacot, keramat lambemu!" Eve menarik tangan gue dengan paksa sebelum gue sempet mengelak, "Wes! Aku wes kebelet iki! Nek ketemu setan, baca'o doa lah, katae pinter ngaji!" seretnya tanpa menghiraukan omelan-omelan yang keluar dari mulut gue.

Gue akhirnya capek mengomel dan menyerah tangan gue ditarik-tarik. Kami berdua melewati lorong partner yang rata-rata sudah gelap, ya memang sudah seharusnya kami pulang. Tinggal beberapa senior yang lalu lalang membawa tas, bersiap untuk turun lift dan pulang.

Saat hampir melewati belakang ruangan Pakdhe, aku berdoa sebisanya. Ayat kursi, ayat terakhir
Al-Baqoroh, surat-surat juz amma, sambil terus mengalihkan pandanganku ke arah samping. Mengawasi ruangannya dan berdoa, kalau-kalau cowok paling galak seantero kantor itu sudah pulang.

Yes! Gue hampir melonjak girang ketika mendapati lampu ruangan itu sudah padam. Kemungkinan besar Pakdhe barusan pulang dan offline.

Gue arahkan pandangan kembali lurus ke depan, dan tiba-tiba batin gue mencelos.

Sosok tegap berkemeja biru muda berbalut jaket kulit hitam itu menggondol tas ranselnya dengan langkah cepat, menuju ke pintu toilet. Persis di depan kami berdua, bahkan sempat sekilas tatapan kami bertemu.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang