30 - Mendadak Nonton

3.4K 358 17
                                    

Gue kadang merasa penciptaan cowok dan cewek di dunia ini kurang adil. Cowok lebih menang banyak. Gue yakin, sejujurnya kalian semua setuju kalau cowok itu semakin tua malah semakin menarik, karena semakin matang. Masuk akal, soalnya kata Google, secara insting, cewek memang lebih tertarik sama cowok yang lebih tua.

Yang lebih nggak adil lagi, cowok itu minim perawatan. Nama baju cewek itu lebih banyak dan macam-macam, saking bejibunnya biar keliatan cantik, sementara cowok? Nama baju yang paling umumnya cuma kemeja dan kaos oblong. Tapi kalau warna item, tiba-tiba jadi tambah ganteng.

Iya, gue lagi ngomongin si Pakdhe. Cowok yang sekarang duduk di depan gue ini cuma pakai kaos oblong hitam, sama celana training doang. Karena kami hari ini berangkat ngantor di weekend, memang boleh pakai baju bebas casual. Kayaknya itu kaosnya di Tanah Abang seratus rebu dapet empat, yang kalau penjualnya diajak gosip dikit bisa dikasih bonus celana dalem. Rambut hitam short-layerednya kelihatan cuma disisir pakai jari aja, nggak pakai minyak rambut sama sekali, tapi malah kelihatan lebih fresh. Ia juga kayaknya kelupaan jadwal cukur, menyisakan rambut-rambut kecil bakal brewok dan kumis tipis di atas mulutnya.

Kedengarannya agak kayak orgil nggak keurus ya, tapi kalau dilihat outputnya, rawan bikin kepincut. Emang semua tergantung tampang.

Pakdhe masih serius menatap laptopnya dengan headset di telinganya. Sementara gue, nggak kepikiran gue melanjutkan excel di laptop yang nungguin buat dikerjain. Andai aja Pakdhe diem terus gini, anteng, nggak jelalatan, demen gue liatnya. Namanya cewek normal, gue sih bengong aja, mengagumi ciptaan Tuhan yang ada di depan gue.

Gue bukan naksir ya, gue mengagumi ciptaan Tuhan. Beda ya teman-temanku sekalian.

"Sha, udah dikirim belom?"

Gue yang sedang berpangku tangan tersentak kaget. Lah, iyak, gue disuruh apa ya tadi?! Langsung beralih pandangan ke laptop.

"I-ini mau dikirim, Mas. Email ke Pak Damar kan? File yang tadi?"

Pakdhe mendongak, dengan kesal mencopot sebelah headsetnya. "Daritadi ngapain?"

Gue diem aja. Mana mungkin gue bilang, mengagumi ciptaan Tuhan.

"Gue udah bela-belain nih, ngantor weekend demi selesein kerjaan sama lu. Jangan kebanyakan bengong, Sha." omelnya. Ini sih, dia kesel beneran. "Pantesan Mas Damar nge-chat gue nanyain filenya udah dikirim belum."

Gue hanya menggumamkan kata maaf sambil cepat-cepat menyusun email. Memang sih, kami berdua hari ini terpaksa masuk kantor di weekend karena ada deadline rilis di minggu depan, dan Pak Damar udah ngejar-ngejar dari kemarin. Kami ngantor cuma berdua aja, karena yang lain berhalangan. Pakdhe juga sebenernya masuk karena buat gantiin Mas Danang, yang harusnya review kerjaan gue. Gue sempat bertanya-tanya juga apakah sebenernya dia nggak ikhlas, karena dari pagi tadi mukanya udah nggak bersahabat.

"Udah, Mas." gue mencicit. Pakdhe kalau lagi jutek begini lebih serem daripada kalau dia marah-marah. Mau seganteng apa, kalau bos lagi jutek mah tetep serem.

Pakdhe nggak menyahut. Ia mengangkat sedikit laptopnya dan mengarahkan layarnya ke gue.  Mukanya tampak makin kesal. "Lu ngerti bikin cashflow nggak sih? Kok lu nembak angka rounding cashflow di rumus totalan? Ini mah, sampai nenek gue hidup lagi juga nggak akan balance." omelnya dengan nada betawi plus suara batak khasnya.

"O-oh gitu ya, Mas. Oke, Mas." suara gue mirip orang berbisik sekarang. Nada Pakdhe nggak tinggi-tinggi banget, tapi kedengeran kesal. Kayak 'bego banget sih ini anak'.

"Nggak usah dibenerin. Lama lu, kayak keong sawah. Gue udah benerin sendiri." ia menurunkan nada suaranya, capek. "Nanti liat aja ya, masa salah disitu-situ melulu dari jaman penjajahan."

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang