21 - Jangan Pergi

3.6K 328 5
                                    

Beberapa novel yang pernah gue baca, temanya adalah kampus dengan salah satu dosen ganteng sebagai pengajarnya. Gue yakin kalian juga pernah baca, atau sekedar pernah lihat, karena tema itu tampaknya lumayan populer di kalangan remaja.

Biasanya di novel-novel, kalau si dosen ini ngajar, suasana kelas langsung riuh murid-murid cewek, kan? Atau, ada bisik-bisik siswi-siswi yang ngegosipin si ganteng yang lagi ngajar.

Gue sama sekali nggak nyangka kalau suasana kelas di novel itu, gue alami sendiri di usia gue yang udah 28 tahun. Bukan dosen sih, lebih tepatnya pengajar training ganteng.

Kelas training tiba-tiba riuh oleh senior-senior cewek ketika Mas Danang masuk sesi kedua. Memang sih, karena kantor gue punya banyak lantai, senior peserta training itu bukan cuma dari lantai gue. Mereka kebanyakan bahkan dari lantai-lantai atas, jadi memang jarang-atau bahkan nggak pernah melihat makhluk bernama senior manajer seganteng Mas Danang. Juga, baru kali ini ada training offline, jadi mata langsung seger begitu lihat yang cakep dikit.

Apa kabar kalau mereka lihat Pakdhe?

Mas Danang terlihat tersenyum bingung dan kikuk di depan kelas. Matanya menangkap gue yang duduk di tengah. Ia tampak berbisik, "kenapa ini?"

Gue cuma menggeleng dan mengangkat bahu. Dasar cowok nggak peka. Karena mereka kayak lihat Kevin Julio tiba-tiba ngajar training, Mas.

Kelas akhirnya tenang setelah manajer grup sebelah, yang jadi penanggungjawab training, mengamankan suasana. Meski training bisa berjalan tenang, tetap aja ada bisik-bisik di belakang.

"Gila, kok di grup sebelah ada sih senior manajer seganteng itu. SM gue bentukannya kaya kentang, anjir."

"Iya, manajer gue masih muda sih, tapi cici-cici galak. Wah kalau SMnya gini sih, lembur tiap hari juga gue jabanin."

"Jomblo nggak ya, dia?"

"Umur berapa ya dia? Kok kayak masih muda."

Gue yang dengerin komentarnya sambil mencatat penjelasan training, hanya tersenyum bangga. Ya bangga, soalnya itu SM gue, hehehe.

"Iku baru Mas Danang, cuk." Eve, yang duduk di sebelah gue ikut berbisik. "Kalau mereka lihat Mas Tion, fix speechless."

Gue terkekeh. "Kayak di lantai lain nggak ada yang ganteng aja."

"Teman-teman, ada yang bisa coba jawab soal latihan nomor satu?" Mas Danang melempar pertanyaan. Seketika kelas agak riuh. Langsung semuanya mendadak aktif mengangkat tangan, sebagian lainnya - yang kebanyakan cowok-cowok, masih tanya-tanya ke sebelahnya sambil garuk-garuk kepala mencerna materi. Padahal materinya lumayan susah, emang sih kalau cinta bisa memicu otak lu mendadak cosplay jadi otak Einstein.

"Pak!" tiba-tiba cewek yang duduk di ujung dengan rambut pirang buka suara. "Hadiahnya apa? Nomer hape Pak Danang aja boleh nggak?"

Pertanyaannya langsung dijawab dengan 'huuu' dari satu kelas. Mas Danang cuma ketawa salting sambil berusaha meredam kericuhan. Gue yang punya nomor Mas Danang cuma senyum-senyum. Duh, mau sombong gimana ya, tapi takut dosa.

Sesi Mas Danang berlangsung lancar selama 45 menit. Yah, yang lama meredam keriuhan kelas sih, karena sebetulnya materinya sedikit. Setelah Mas Danang pamit dan keluar kelas, gue tiba-tiba degdegan teringat kata-kata Mas Danang tadi pagi.

Berarti habis ini, sesinya Pakdhe?

Belum sempat gue berpikir, pintu ruangan terbuka. Kelas yang tadinya riuh, langsung hening ketika bos gue itu masuk dengan langkah cepat dan cuek, langsung menuju meja di tengah ruangan. Anak-anak nggak sempat riuh kayak waktu lihat Mas Danang, karena gerakan Pakdhe yang terlalu cepat. Tapi semua mata jelas tertuju ke pria itu.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang