37 - Seni untuk Berkata Tidak

3K 272 6
                                    

Disini ada yang merasa jadi 'yes man'?

Gue yakin di dalem hati, ada banget yang jawab 'lagi ngomongin gue nggak sih?', mungkin salah satunya lu. Nggak, gue nggak berniat nyindir siapapun. Gue cuma mau bilang, gue salut sama kalian semua. You did a real hard job. Kadang bahkan gue nggak ngerti gimana orang-orang yang selalu ngomong 'iya' ke bos, bisa melakukan semua kerjaan yang akhirnya dilimpahin ke dia.

'Ya kan gue iyain karena gue butuh duit, Sha.'. Iya, gue juga. Emang gue butuhnya daun singkong? Makanya, gue pengen banget balik ke diri gue beberapa tahun yang lalu, ketika pertama kali ikut Mas Tion.

Si jenius brengsek itu adalah orang paling banyak mau yang pernah gue temui. Gimana sih, lu pasti pernah ketemu orang yang pinter banget, rata-rata pasti orangnya suka banyak ide nggak sih? Ya itu yang ada di kepala Pakdhe. Gue yakin, lu mungkin pernah ketemu bos kayak gini. Lu kadang sebenernya cuma punya satu masalah, menurut lu, bisa selesai sebenernya cuma pake cara A. Tapi bos lu mintanya A, B, C, D, sampe Y. Itupun Z-nya baru kepikiran di akhir-akhir. Kampretnya, si B sampai Z itu ternyata nggak perlu-perlu banget lu kerjain. Kesel nggak lu?

Selain itu, lu pernah nggak merasa disuruh multiprofesi? Kita dong, disuruh jadi pegawai sekaligus ahli nujum. Si jenius yang ganteng itu, kadang lupa kalau nggak semua orang punya mindreading ability. Ibarat kata, orang normal harusnya jelasin sesuatu itu urut, dari nomer 1, 2, 3, dan seterusnya sampai 10. Bos gue, mana seru begitu. Dia bisa tiba-tiba langsung ke nomer 7, habis itu nomer 3, loncat ke nomer 9, kalau masih ada tenaga, tiba-tiba nyasar ke huruf Z. Abis itu gue langsung disuruh selesaiin sesuatu dalam hari itu juga. Yang disuruh apa, yang diomongin apa, itu juga belom ada nyangkut di kepala gua.

Dan penyakit semua anak baru, termasuk gue beberapa tahun lalu, adalah punya default jawaban 'Siap, Mas.'.

Lu pasti tahu kan akibatnya. Gue biasanya keluar ruangan Pakdhe, melongo doang kayak orang ketempelan. Nggak ngerti dia ngomong apa, nggak ngerti juga disuruh apaan, apalagi mikirin gimana cara ngerjainnya. Tapi tololnya, udah terlanjur gue iyain. Jadilah gue lembur sambil stres sendiri, kadang sambil nangis menyesali mulut gue yang langsung iya-iya aja. Dan lucunya ketika udah selesai, ternyata salah  kerjaan gue. Puncak komedi.

Tapi setelah beberapa tahun, gue sedikit merubah kebiasaan gue itu. Salah satunya hari ini.

"Sha."

Gue menoleh, Pakdhe tampak berjalan menghampiri meja gue sendirian, dengan langkah yang agak tergesa-gesa. Brengsek. Eve udah keluar buat istirahat makan duluan, jadi Pakdhe bisa leluasa duduk di kursi Eve yang persis di samping gue.

"Sha, gue lagi kepikiran sesuatu."

Bae-bae lu, bos. Biasanya pikiran lu suka bikin gue puyeng. Kok bisa yang mikir elu, yang pusing gue.

"Harga transaksi si itu, kemarin berapa ya?"

Ya kan. Nujum banget nggak gue. Pertama, kata-kata 'harga transaksi', transaksi apaan nih maksudnya? Klien gue ada lima, tiap klien transaksinya macem-macem, ada penjualan, pembelian, uang muka, bayar gaji, dan puluhan transaksi lainnya. Yang lagi dia omongin transaksi yang mana, gue pikir dulu.

Kedua, 'si itu' ... 'itu' ... 'itu' ...

'ITU' MAKSUDNYA SIAPA, ANJENG!

"Yang mana?" gue menyerah. Terlalu banyak variabel dari pertanyaan Pakdhe. Hanya dia dan kuman-kuman di kulitnya yang tahu.

"Ck!" Ia berdecak, seolah gue anak buah paling nggak ada otaknya. "Yang kemarin kita bahas."

Masalahnya, kemarin gue izin sakit. Lu bahas sama siapa? Arwah gue?

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang