Penciptaan fisik Pakdhe beneran nggak adil, deh.
Laki-laki itu nongol dari salah satu celah tembok, celingukan dengan rambut yang acak-acakan, kaos lecek lengan pendek warna putih tulang, celana kolor panjang abu-abu, dan sandal jepit warung. Mukanya yang biasanya resting bitch face kali ini kelihatan agak kuyu, mencerminkan kalau dia beneran sakit.
Tapi dia nggak lupa buat tetep ganteng. Dengan setelan gembel begitu, penampilannya masih nggak kebanting sama orang-orang perlente yang lalu lalang di sekelilingnya. Emang ada orang yang cakepnya effortless. Nggak capek-capek dia bikin gue terpesona sama tampangnya.
Ia terlihat membetulkan posisi kacamata sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, sampai matanya menemukan gue.
"Sini!" ia berseru, tangannya mengisyaratkan gue biar berjalan ke arahnya.
Gue seketika sadar setelah puas bengong ngeliatin tampangnya, langsung berlari kecil menghampirinya. Nggak jauh dari gue - jarak sekitar 5 meter, ternyata ada tikungan yang letaknya di pojokan. Jadi kelihatannya jalan buntu kalau dari depan, padahal ada jalan kecil di tikungan itu.
Pakdhe menunjuk lift yang sekarang ada di hadapan kami. Tampangnya sudah pasti, kesel setengah mati. "Nyari ini, bu?"
"Mas, mana saya tahu disini ada jalan kecil! Lagian yang bikin gedung ada bae, bikin lift di jalan buntu begini!" protes gue sambil mengikuti Pakdhe memasuki lift itu.
Pakdhe diam saja dan memencet tombol lantai 15. Ia menatap lurus ke arah pintu, membiarkan pintu lift menutup dengan kami berdua yang ada di dalamnya.
Akhirnya, kayaknya udah mulai ini masa-masa awkward gue sebagai penjenguk si bos.
Gue melirik ke samping. Muka Pakdhe beneran kelihatan agak merah, kayak biasanya orang demam. Suara nafasnya juga samar-samar kedengeran lebih berat dan cepat dari biasanya. Tangan gue daritadi udah gatel banget buat ngecek suhu tubuh di dahinya, tapi kalau sekarang gue lakuin, bisa di-smack down kali gue disini.
Untung lift nggak lama mengurung gue berduaan sama Pakdhe. Begitu lift terbuka di lantai 15, Pakdhe keluar duluan dengan langkah cepat khasnya. Gue mengikuti langkahnya dengan tergopoh, sampai dia berhenti dan membukakan sebuah pintu bertuliskan 1502.
"Masuk." perintahnya dengan suara datar.
Gue masuk ke unitnya dengan langkah perlahan. Unit studionya cukup luas, tapi nggak semewah itu juga. Begitu masuk dan nengok ke kanan, lu langsung disambut oleh ruang keluarga dengan sofa dan TV yang ukurannya lumayan besar. Ada dinding kaca full-frame di ujung ruang keluarga, dilengkapi dengan pintu mungil yang mengarah ke balkon. Enak sih, lu bisa ngumpul keluarga sambil nontonin pemandangan diluar dinding kaca. Walaupun pemandangannya langit butek sama perumahan. Ya ini Jakarta, lu ngarepin pemandangan ape? Ijo-ijo? Ke Bogor sono!
Di sebelah kanan, ada kitchen set dengan kompor listrik, meja makan kapasitas empat orang, dan kulkas dua pintu. Masih tampak kinclong, sudah barang tentu Pakdhe nggak akan masak kalau sendirian. Sementara di ujung ruangan yang lain, gue bisa lihat ada tiga pintu lainnya yang sepertinya kamar tidur dan kamar mandi.
Kenapa gue jadi kayak promosi apartemen ya?
Balik ke cerita. Sebenernya daritadi Pakdhe langsung melesat ke sofa ruang keluarga, setelah membiarkan gue masuk ke unit dan ia selesai menutup pintu. Pakdhe langsung merebahkan tubuh dengan posisi telungkup dan bantal di kepalanya.
O-ow, mungkin daritadi dia nahan pusing ya? Pantes aja dia anteng.
Gue menaruh plastik dan tas punggung yang daritadi gue tenteng di meja makan. Entah angin darimana, naluriah aja gue langsung mencari sendok dan gelas, lalu membawanya ke ruang keluarga bersama dengan sterofoam bubur dan teh hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...