73 - Partner

4.5K 414 30
                                    

Gue udah pernah cerita ya, bos gue itu beda sama orang-orang kebanyakan kalo soal jabatan. Udah beberapa hari berlalu sejak Pak Damar masuk ke ruangan Mas Danang, nanya soal alasan Pakdhe nolak jadi partner. Sampai hari ini, hari pengumuman partner baru, akhirnya nama Pakdhe nggak muncul disana.

Yang muncul nama Koh Peter.

"Wah, Sha. Email promotion udah keluar nih." Mas Danang yang lagi mereviu gue di ruangannya langsung teralihkan dengan email notifikasi promotion kantor. Ia sedikit mendekat ke arah layar laptopnya, gue yakin dia juga berusaha meneliti lagi email promotion dari kantor - nyari nama Pakdhe.

"Waduh, Mas Tion beneran nggak masuk ya. Yang masuk malah Koh Peter ini."

"Iya. Kayaknya nggak naik." Gue sendiri juga bingung. Gue tahu Pakdhe emang gak berminat sama jabatan itu, tapi tetep aja rasanya aneh. Apalagi ngeliat Koh Peter yang besti banget sama dia naik duluan.

"Kayaknya Mas Tion tetep nolak ajakannya Mas Damar." Mas Danang menggumam pelan. "Padahal saya udah bujuk-bujuk dari kemarin."

Gue mendongak, jadi keinget sesuatu. "Omong-omong, kemarin Mas Danang kemarin ngomong sesuatu sama Mas Tion waktu kita diskusi bertiga. Itu soal apa, Mas?"

Mas Danang menatap gue dengan tampang bingung. "Yang mana ya?"

"Itu ... yang waktu Mas Danang kasih tau Mas Tion soal Pak Damar yang ngomongin promosi. Mas Danang nanya, apa Mas Tion menolak promosi itu ada kaitannya sama 'masalah yang belom selesai'." gue agak mencondongkan tubuh ke arah Mas Danang, "Emang masalah apa?"

Raut muka Mas Danang agak berubah - gue nggak tahu ini perasaan gue doang apa memang begitu. Tapi yang jelas, Mas Danang langsung mengalihkan pandangannya ke arah layar laptop. Langsung serius dan lanjut kerja. "Ada lah. Privasinya Mas Tion."

"Apa saya nggak boleh tahu? Sama sekali."

Ia menggeleng pelan. "Nggak usah, nggak ada hubungannya sama kerjaan. Lebih baik kamu nggak perlu tahu banyak soal urusan pribadi orang."

"Kalau pribadi, kok Mas Danang bisa tau?"

Gue kali ini membiarkan mulut gue yang rese tapi kritis beraksi. Mas Danang terdiam mendengar pertanyaan gue.

Terlepas gue paham kalau mereka sekampus, seumur gue kerja disini sih kayaknya Mas Danang dan Pakdhe nggak sedeket itu sampai cerita hal-hal pribadi, ditambah basic Pakdhe yang emang tertutup. Mereka jarang banget hangout bareng. Selain karena sibuk kerja, tentu karena vibes mereka berdua beda banget. Satunya jelalatan, satunya diem - ya lu tau lah siapa yang jelalatan. Bahkan sebenernya gue jarang banget ngeliat mereka sekedar ngobrol santai berdua dalam waktu yang lama.

Jadi agak aneh kalau Mas Danang tiba-tiba tahu masalah pribadi Pakdhe. Kecuali ... ada situasi yang bikin Mas Danang kebetulan tahu.

"Sudahlah, Sha. Nggak baik gosipin orang." Mas Danang masih mengelak. "Kalau kamu memang mau tahu, harus tanya langsung sama orangnya. Saya nggak berhak buat jawab pertanyaan kamu."

***

Gue nggak bisa bohong kalau gue cukup menikmati penampilan Pakdhe yang nggak formal. Meskipun tampang formalnya udah jelas ganteng, berwibawa, dan rapi, tapi tampilan santainya sebenernya jauh lebih enak dilihat lama-lama. Akhir-akhir ini, itu jadi salah satu alesan gue seneng lembur di kantor kalau weekend, lantaran gue bisa ngeliat bos gue melepas tampilan profesionalnya sejenak.

Kali ini kami lembur di kantor nggak cuma berdua. Kantor lumayan rame karena ini bulan-bulan peak season, bahkan seharusnya ada Mas Andri juga. Tapi Mas Andri lagi sibuk sama tim lain, jadi dia mesti stay di tempat timnya itu. Paling sesekali doang dia balik ke ruangan Pakdhe buat nyamperin dan ngasih update kerjaan.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang