54 - Dinner Pinggir Jalan

3.3K 359 15
                                    

"Tasha, Sha!"

Gue menoleh mendengar suara yang gue kenal banget. Mas Danang, calon suami gue, tampak berjalan cepat di koridor kantor mengejar gue dari belakang. Ya ampun, apa nggak capek dia ganteng mulu ya. Ngos-ngosan aja tetep ganteng.

"K-kenapa, Mas?" gue agak terbata-bata. Dia selalu bikin gue terbata-bata dari dulu.

"Saya ... saya minta maaf ya, soal yang kemarin."

Gue mengerutkan alis. Kemarin? Kemarin emang gue ngapain sama dia? Dia balik ke kantor dari tugas luar pulau aja baru hari ini, udah main minta maaf aja ke gue. "Minta maaf ... apa ya, Mas?"

"Soal stock opname. Saya nggak tahu kalau kamu ditaruh di hotel begitu ..."

Alis gue makin mengerut, separuh menerawang. Seinget gue, gue nggak ngomong apa-apa ke Mas Danang soal hotel. Gue balik dari hotel kemarin lusa, yaudah langsung balik aja, bahkan Eve pun belum sempet gue ceritain apa-apa. Ya, gue sih nggak enak ya, namanya juga gue cuma senior, masa iya gue komplain ke senior manajer kalau dikasih hotel kayak sarang kuyang begitu.

"Saya tau dari Mas Tion, Sha." ia menggaruk-garuk kepalanya sejenak, "Mas Tion kemarin nelpon saya. Ngomel-ngomel sih, katanya kamu dikasih hotel kok begitu."

Deg.

Si bapak itu lagi. Seketika tragedi sleepcall dua hari yang lalu keputer lagi di otak gue, kayak YouTube rewind. Kebayang lagi suara bass dan serak milik om-om itu yang sukses akhirnya bikin gue tidur subuh. Iya, gue baru tidur subuh, gara-gara deg-degan gue berlanjut terus. Takut banget gue itu kalau sampai mimpiin Pakdhe. Untung banget, jantung itu letaknya di dalem tubuh, kalau di luar kayaknya Mas Danang udah budek kupingnya lantaran sekarang berasa keras banget degupannya.

Mas Danang, gue baru sadar, ternyata dia sedang mengernyitkan alis sambil menatap gue. "Sha, kamu kenapa? Kamu nggak apa-apa?"

Gue malah bingung. "Hah? Emang kenapa saya, Mas?"

"Kamu lagi sakit?" ia memelankan suaranya. Ekspresinya sekarang lebih ke khawatir. "Pipi kamu tiba-tiba jadi merah banget."

Gue reflek memegang kedua pipi gue, yang emang kerasa banget panasnya.

Mampus! Mampus! Ini gue jawab apaaa, ya Tuhannn?! Gue sama sekali nggak sakit, gue juga nggak tahu kenapa pipi gue tiba-tiba merah. Apa karena Mas Danang? Tapi nggak juga, dari awal gue ketemu Mas Danang gue baik-baik aja. Masa karena ...

"Eh, Danang! Gimana yang tadi? Udah jadi lu kirim ke klien?"

Kambiiiing, kambing! Kenapa suara berat itu mendadak muncul di belakang gue pas saat-saat begini, sih?!

Sedetik kemudian terdengar suara langkah kaki mendekati kami dari belakang. Mas Danang yang di depan gue mukanya langsung berubah serius. Siapa lagi orang yang bisa bikin muka dia serius, udah pasti seniornya pas kuliah itu.

"Belum, Mas. Saya mau ke Mas Tion dulu tadi sebelum kirim ke klien."

"Oh, yaudah, kapan mau ke tempat gue?"

"Sekarang deh. Bentar ya Mas, saya ambil laptop dulu."

Gue masih dalam posisi memegang kedua pipi waktu Mas Danang berbalik dan berjalan menjauh ke arah ruangannya, mau ambil laptop dia. Gue nggak berani nengok sama sekali ke arah suara yang sukses bikin gue jadi beku kayak es balok. Sayangnya, kayaknya sosok itu masih berdiri tepat di sebelah gue, karena gue bisa ngeliat sosoknya di ekor mata gue. Untung dia jauh lebih tinggi, jadi kami nggak langsung ketemu mata kalau gue ngelirik.

"Lah. Lu ngapain dah berdiri disini? Ngalangin jalan?"

Mau nggak mau, gue akhirnya menoleh ke arahnya, masih dengan pipi yang ditutup tangan.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang