Writer's note: Halo, kali ini Tasha ga terlalu ngelawak dulu ya. Mau pendalaman karakter dulu, sekalian penulis brainstorming dulu cari inspirasi bit-bit lawak Pakdhe, yang kadang susah dicari 😂.
Enjoy! 😊
***
Siang itu gue mengacak-acak isi lemari di kosan. Udah sejam sejak gue selesai mandi, nggak kelar-kelar milih baju. Tipikal cewek, di belahan dunia mana juga sama bae. Mau bajunya sebanyak obralan di ITC juga bilangnya tetep nggak punya baju.
Hari Minggu ini hari mendebarkan buat gue, karena ini pertama kalinya gue diajak makan siang bareng klien, sama Pakdhe dan Mas Danang. Senior yang diajak beneran cuma gue, karena Eve dan Aldo nggak ikut ngerjain klien ini. Kata Pakdhe, klien yang datang levelnya vice president atau wakil direksi. Ini VP yang bener-bener berwibawa gitu ya, bukan modelan Pak Ah Meng yang suka-suka dia. Mengingat perusahaannya juga lumayan yahud, nggak mungkin dia dateng cuma pake kaos polo doang, meskipun ini weekend. Jadi gue harus rapi juga.
Denger-denger juga, si VP ini mantan konsultan di kantor kami. Seangkatan Pakdhe, bestienya jaman dulu. Makanya kita oke-oke aja diajak makan siang pas weekend, mungkin Pakdhe sekalian nostalgia.
"Ini aja deh." Gue menggumam sambil bersolek di depan kaca. Gue memilih blus lengan panjang batik warna dominan biru hitam dengan aksen pita di pinggang kiri. Dipadu dengan celana kain warna hitam. Lumayan lah, nggak lebay buat level gue yang masih senior.
Gue lanjut bersiap-siap sambil bersenandung. Menghalu Mas Danang pakai baju dengan warna samaan, trus dikira sarimbit. Aaaaa ... Gue nyengir-nyengir sendiri kayak ketempelan jin.
Ya, gue sempet mikir juga sih Pakdhe bakal pakai baju apa. Yaa, tapi cuma dikit doang. Sekilas aja.
***
"Nah ini anaknya, lama bener. Ngapa lama bener sih, muter ke Brunei dulu?"
Gue berlari tergopoh menghampiri kedua bos gue yang berdiri di depan pintu restoran berwarna keemasan. "Macet, macet. Sorry!"
Gue sekali lagi terpesona melihat Mas Danang dengan setelan batik slim-fit lengan panjang, meskipun bukan sarimbit sama gue, tapi tetep cakep dengan warna dominan putih. Rambutnya disisir rapi ke belakang dengan gel rambut. Tampangnya jadi jauh kelihatan segar, tapi tetep formal.
Gue agak merona juga waktu melirik Pakdhe yang masih tampak kesal karena nungguin. Pria itu juga kelihatan gagah dengan setelan batik hitam lengan pendek, yang meskipun bukan slim-fit tapi tetap mendukung postur tegapnya. Bingung gue sama orang ini. Lemari bajunya mungkin isinya item semua, ala-ala cowok jamet yang males milih outfit.
Ia mengangkat tangan kiri, melihat jam di tangannya. "Masuk yuk. Kasihan Si Luna nungguin kita."
Gue dan Mas Danang ikut masuk ke dalam. Luna pasti nama si VP perusahaan itu. Jujur gue sendiri belum pernah ketemu, karena selama ini gue berhubungan cuma sampai level manajernya klien aja. Agak degdegan juga gue.
Restoran masakan khas Indonesia itu kecil, cuma kelihatan mewah, semi-semi fine dining. Kayaknya kalau mau makan disana, harus reservasi dulu karena cuma ada beberapa meja panjang aja. Suasananya serba keemasan, dengan lampu-lampu gantung dengan warna senada. Meja dan kursinya emang terbatas, terbuat dari kayu dengan bantalan merah di setiap kursi, biar nggak encok duduknya. Dinding-dindingnya kelihatan hijau dengan daun-daunan sintetis, dengan beberapa lampu hias mungil yang disematkan di sela-sela daun. Para pengunjungnya juga kelihatan dressed-up, rata-rata pria dan wanita paruh baya yang kelihatannya rekan kerja.
Ya, lu pasti tahu lah. Ada restoran yang ketika lu masuk, lu kerasa minder. Ada lah restoran yang waktu lu masuk suasananya beda kalo dibandingin lu masuk warung pecel lele.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...