Gue lari menelusuri jalan setapak berbatu yang ditunjukin Kak Gayatri tadi. Isi kepala gue cuma ada Pakdhe yang lagi patah hati. Yang ada di pikiran gue cuma menghampiri pria itu, gantian nemenin dia yang lagi terluka sendirian.
Apa? Lu bilang gue tolol karena masih ngejar Pakdhe? Peduli setan. Gue emang ada rencana buat ngelupain dia, tapi nggak bisa sekarang. Sekarang gue reflek masih ngejar Pakdhe karena masih sayang.
Gue yang cengeng, nangis lagi di pengadilan negeri tadi. Gue sedih ngebayangin Pakdhe yang ternyata juga sesakit itu, lebih parahnya, dia sendirian. Kak Gayatri yang panik ngeliat gue nangis jadi neleponin abangnya, sayangnya nggak ada satupun yang diangkat. Nanya ke emaknya juga ternyata abangnya belum pulang.
Jadilah dia nganterin gue kesini. Tempatnya agak pelosok, sekitar setengah jam dari wilayah situ. Konon, kata Kak Gayatri, dulu orangtua mereka punya kenalan di daerah situ, dan sering bawa mereka main kesana waktu SD.
Katanya, Pakdhe suka banget nongkrong sendirian di sebuah jembatan kecil diujung jalan ini. Sampai sekarang, kalau dia lagi pengen sendiri.
Kak Gayatri cuma nunjukin arah, sementara ia nunggu di jalan besar karena mobil nggak bisa masuk. Gue masuk agak jauh, tapi nggak ribet karena jalannya cuma belok satu rumah kemudian lurus aja. Itu jalan setapak yang kanan kirinya kebon sayur-sayuran. Memang sih daerah situ agak sepi, tapi sepertinya nggak bahaya karena masih ada rumah warga di kanan kiri jalan, meskipun nggak dempet-dempetan.
Sebenernya kalau gue lagi santai, pemandangan disini bagus banget. Sinar matahari sore bener-bener kena ke badan gue yang sedang berlari, nggak terhalang rumah tinggi atau gedung kayak di Jakarta. Sore itu bener-bener langitnya jingga terang, serasi dipadu sama warna hijau-hijau dari kebun sayur warga. Semilir anginnya juga cukup kencang, gue nggak gerah sama sekali walaupun udah lari beberapa menit. Malah sekalian menikmati pemandangan sore itu yang cantik banget.
Sampai di ujung, jalannya agak melebar. Disitu gue ketemu satu jembatan berukuran sedang yang dibangun di atas sungai. Gue mulai naik dan celingukan di sekitar jembatan, nyari dimana tempat yang kira-kira bisa jadi tempat nongkrong. Mengabaikan pemandangan sore yang ternyata makin indah kalau dilihat dari jembatan itu.
Ada sekitar tiga kali gue bolak balik dan menyusuri ke tiap ujung jembatan, apa ada sosok pria yang lagi gue cari. Tapi nihil. Meskipun agak besar, jembatan itu terlalu sepi buat tempat nongkrong. Cuma ada satu abang starling mangkal di ujung. Juga cuma ada sesekali orang atau motor yang lewat disitu.
Gue mulai terisak putus asa. Gue berhenti di ujung jembatan dan menengok ke bawah, ke arah sungai yang jaraknya agak tinggi dari jembatan. Seketika mata gue membulat.
Apa iya?
Masa iya ... Pakdhe loncat?!
"Mas Tion!"
Gue mulai celingukan lagi mencari pria itu. Yang masih nihil. Gue nggak peduli tukang starling ngeliatin gue yang mulai nangis sambil bolak-balik ngiterin jembatan.
"Mas Tion! Dimana?!"
Hening. Disitu cuma ada suara angin dan gemerisik daun di pohon-pohon sekitar jembatan. Gue mulai putus asa menatap aliran sungai dibawah yang cukup kencang. Otak gue mulai pusing ngebayangin pria itu yang putus asa, saking cintanya dia ke mantan istrinya.
Dan membayangkan betapa mudahnya orang meloncat dari atas sini, ke bawah. Yang mungkin nggak akan selamat.
Gue lari lagi dan berhenti di ujung satunya, bertumpu di pegangan jembatan, menangis sambil berteriak keras-keras sebisa gue ke arah sungai di bawahnya.
"MAS TION!! JANGAN PERGII! SAYA SAYANG BANGET SAMA MAS ..."
"WOY! GUE BELOM MATI!!"
TOK!
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...