"Sumpah, cuk?!"
Mata Eve yang tadinya sipit tiba-tiba jadi agak lebar dikit mendengar cerita gue. Yap, gue menceritakan kejadian kemarin ke sahabat-sahabat gue di kantor. Kecuali part-part gue bareng Pakdhe, gue nggak cerita apa-apa soal itu karena takut mereka mikir macem-macem. Ia meneguk peppermint choco-nya sejenak, lalu balik memandang gue dengan tatapan kaget.
"Sumpah Mas Danang mesum di mall?"
"Heh!" Aldo yang mengambil posisi duduk di tengah kami berdua menoyor jidat Eve. "Cipokan doang mah bukan mesum, neng. Mesum tuh gini." ia bertepuk tangan beberapa kali.
"Dih, opo, cok? Tepok tangan doang kok mesum. Ndeso."
"Yah, orang udik diajak ngomong ya gini nih." Aldo menyerah. "Tapi lu yakin, Sha? Itu kan remang-remang. Siapa tau cuma ciuman jidat."
Gue menghela nafas. "Aldo, biarpun itu remang-remang, gue tau mana posisi jidat, mana posisi bibir, mana posisi ginjal. Gue yakin seribu persen itu bibir."
Mata Aldo menerawang sebentar. "Tapi kan masih ada kemungkinan belum jadi istri."
"Yah, Aldo." gue mendesah pasrah, "Do, lu kalo liat ceweknya, bening. Kalaupun masih jadi pacar, gue ga bakalan bisa saingan, deh. Mukanya macem Adinia Wirasti, Tara Basro, Anggun C. Sasmi."
"Mukanya ada tiga?"
"Goblok, jancuk! Hen pen!" giliran Eve menempeleng pipi Aldo. "Maksute mukane mirip tiga artis iku!"
Sepanjang sejarah kerja disini, gue selalu menikmati sesi nonton pertengkaran mereka yang kayak anjing dan kucing kalau ketemu. Kadang-kadang gue mikir, sebenernya mereka berdua bakal seru kalau jadian. Sayangnya, sekarang Aldo katanya lagi pedekate sama cewek diluar kantor, kabarnya sih mantan kliennya.
"Btw yo," Eve balik ke gue setelah puas memukuli Aldo yang masih meringis kesakitan, "Kon kok wes move on? Aku belom pernah pacaran seh, tapi kok cepet, yo? Bukane orang move on itu lama, yo?"
Gue tertawa kecil. "Move on darimana? Gue masih galau kok kalau mau tidur. Cuma nggak keliatan aja."
Aldo mengerutkan alis. "Kali ini gue setuju sama Eve. Dulu waktu gue diputusin mantan gue, rasanya kayak mau meninggal. Berhari-hari ada kali gue cuma galau-galau di kamar. Gue sampai bolos kuliah gara-gara lesu banget rasanya."
"Gue nangis-nangis juga kok Do, waktu ngeliat Mas Danang kemaren."
"Tapi sesaat doang, kan?" Aldo menegaskan suaranya. "Tasha, kalau lu bener-bener masih patah hati, nggak mungkin lu cerita kayak gini ke kita tanpa nangis-nangis. Ini lu cerita ke kita biasa aja, kayak ngegosip biasa."
Gue terdiam. Aldo nggak salah, gue emang masih galau-galau sendirian tadi malem di kamar, bahkan gue emang beneran sampe nangis lagi. Tapi itu nggak lama, soalnya gue malah ketawa-ketawa sendiri keinget celotehan Pakdhe yang lucu-lucu selama kita di mobil. Pagi ini, gue bangun dengan otak yang masih kepikiran Mas Danang, tapi ...
... yaudah. Yaudah aja, gitu. Nggak ada efek apa-apa di badan gue. Gue sedih, tapi sedih biasa aja. Itu aneh, ya?
Nggak, Sha. Lu mungkin sebenernya masih kepikiran, tapi lu mencoba denial aja kalau lu patah hati. Itu mekanisme self-defense otak lu. Iya, bener, jauh dalam hati gue pasti masih kepikiran sama Mas Danang.
Aldo menyipitkan matanya, "Lu beneran suka nggak sih sama Mas Danang? Suka yang suka banget?"
"Ya iya, lah!" gue sedikit memekik, "Do, mana mungkin tiga tahun ini gue melototin dia terus kalau nggak suka beneran sama dia!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...