Kata orang, payungan berdua itu romantis, apalagi kalau lawan jenis. Yang cowok, biasanya merelakan sebelah bahunya basah kehujanan demi si cewek. Atau, dia rela kehujanan dan memberikan payungnya semuanya buat si cewek.
Manusia itu tentu saja, pengecualian.
Kami sepayung berdua, tapi bahu kiri gue bener-bener basah kuyup waktu kami berjalan menyusuri setapak Sudirman. Logikanya kalau cowok megangin payung, dia akan memposisikan payung itu di tengah-tengah, jadi kena 50:50. Kalaupun geser sedikit, si cowok akan mengalah dan membiarkan bahunya basah. Itu kan yang kalian pikirin di otak kalian?
Pria itu memang megangin payung buat kami berdua, tapi gue nggak tahu nalarnya ada dimana. Karena, 80% payungnya dia arahin ke dirinya sendiri. Ia tampak fokus main handphone sambil memegangi payung, sementara bahu bagian luar gue terus terguyur air hujan yang cukup deras. Untungnya, ransel yang berisi laptop ini gue gendong di depan, kalau gue gendong di belakang udah pasti ikut kehujanan.
Gue menoleh ke arah pria itu. Kok bisa ya, orang ini nggak nyadar sama sekali kalau cewek di sebelahnya nggak terpayungi dengan baik dan benar? Dia nggak nyadar juga kalau daritadi gue harus lari kecil mengimbangi langkah jerapahnya.
"Ehem!" gue berdehem, berharap Bapak satu itu nyadar kalau gue lagi kesusahan jalan sama dia.
Oh, Tasha tolol, terlalu berharap. Tentu saja tidak semudah itu, Waluyo. Laki-laki itu nggak bergeming, masih sibuk dengan ponsel sambil terus berjalan dengan kaki jenjangnya. Buset, serius amat main handphonenya, masa iya dia lagi ujian CPNS lewat hape?
"Ehem!!"
Percuma. No response lagi.
"MAS TION!"
Pria itu baru bereaksi ketika namanya dipanggil. Ia berhenti sejenak tanpa dosa sambil menoleh ke arah gue yang agak ngos-ngosan di sebelahnya. Mata tajamnya menyipit memandangi gue yang terengah-engah. "Lah? Kenapa lu ngos-ngosan? Habis lari sambil kayang?"
Gue menggeram kecil. Bete gue udah di ubun-ubun. "Mas yang jalannya kecepetan, tau! Saya daritadi lari sepanjang jalan biar bisa ngikutin Mas."
"Ooh, ya mana gue tau. Makanya, bilang dong."
"Satu lagi," gue memicingkan mata ke arah bahu gue yang daritadi nangis kedinginan. "Boleh bagi payungnya banyakan dikit ga, Mas? Maap nih bukan apa-apa, bahu saya yang ini daritadi kehujanan, nggak kena payung."
Pakdhe menatap gue sejenak, lalu mendengus kesal. "Ribet banget lu."
"Hah?"
"Yaudah, sini. Sorry ya, gue pegang bentar bahu lu."
Belum sempet gue protes, tiba-tiba tangan Pakdhe menarik bahu luar gue yang basah dengan cepat. Badan gue otomatis tertarik ke dalam naungan payung, jadi agak nempel ke badannya meskipun masih tetep ada jarak di antara kami berdua. Kepala gue mendadak kosong waktu telapak Pakdhe menggenggam bahu gue dengan mantap, lalu pria itu mulai memandu gue buat lanjut berjalan.
Iya. Dia merangkul gue, dengan posisi kami berdempetan dalam satu payung.
"Maksud lu gini, kan? Lu nggak kehujanan, lu juga nggak ketinggalan langkah gue." tanyanya santai, dengan tatapan yang lurus ke arah jalan.
Bahu gue mulai panas, kepala gue mulai pusing mengimbangi langkah kami berdua dengan posisi kayak gini. "M-Mas! Ini masih di area deket kantor! Nanti ada yang lihat!"
"Hah? Emang kita ngapain?" Alis tebalnya kelihatan mengerut. "Emang kita lagi mesum di jalan? Kan enggak."
"Y-ya tapi nggak usah gini juga, kali!" gue makin mempererat pelukan gue ke ransel yang gue gendong di depan. Berdoa semoga pria ini nggak nyadar kalau gue gemeteran. "Kan Mas tinggal geserin sedikit aja payungnya ke arah saya, gitu lho maksudnya! Nggak usah sambil rangkul-rangkul gini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...