Pagi itu harusnya topik conference call dengan Ali hanya membahas hasil temuan pemeriksaan. Awalnya memang dibahas, tapi setelah peserta meeting yang lain sudah leave call, Ali meminta Pakdhe dan gue untuk stay on call.
"Kaks, ini bukan apa." suaranya di seberang call jadi sedikit berbisik, "Ini soal semalam. Sa mengerti kalau Kaks mau sentuh-sentuh Nona, tapi lain kali jangan di sa punya tempat. Tidak enak, toh, nanti bisa ada yang lihat."
Pakdhe mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. Ia melirik gue yang segera membuang muka. Untung kali ini gue dan Pakdhe call di ruangan meeting, jadi loudspeaker percakapan ini nggak didengar orang lain.
"Aliii ... Kau kenapa bawa lagi soal itu! Aku sudah bilang, kemarin itu kau salah paham. Aku kan sudah jelaskan semalam." bisik Pakdhe.
Ia berdehem. "Hmm ... Sa masih tidak percaya. Kakak punya tangan sa lihat juga peluk-peluk Nona."
"Itu ... Ah! Panjang ceritanya, Ali! Kek mana ya aku jelasin ke kau ..."
Pakdhe melirik lagi ke gue, kali ini mata kami bertemu. Tentu saja pipi gue udah merah padam mengingat kejadian semalam. Sejak kejadian itu, entah kenapa gue salting parah setiap ngeliat muka manusia ini, apalagi kalau mata tajamnya udah mengarah ke gue.
Bahkan, melebihi saltingnya gue ke Mas Danang.
"Ya pokoknya, aku dan Tasha nggak ada apa-apa!" pungkas Pakdhe dengan nada tinggi sambil memutus call pagi itu. Ia menghela nafas panjang, berusaha mengontrol emosinya.
Gue yang tahu meeting udah selesai, diam-diam langsung membereskan laptop dan bangkit menuju pintu keluar ruangan. Ini waktu yang sangat tepat buat kabur. Nggak usah izin deh, kan meetingnya juga udah kelar.
"Sha."
Yah, apaan lagi sih?! Kan jadi auto-kaku ini badan gue!
Pakdhe menoleh. Raut mukanya nggak kebaca, tapi dia kayak merasa bersalah. "Maaf, ya. Seharusnya gue tolak permintaan lu semalem. Gue janji, gue bakal jelasin ke Ali."
Gue yang nggak tahu mau respon apa, langsung membuka pintu ruangan dan menutupnya dari luar. Gue bersandar ke pintu meeting sambil mengatur nafas, berusaha meredam deg-degan gue yang kacau.
Nggak, gue nggak marah sama Pakdhe sama sekali. Itu kan terjadi sepenuhnya karena salah gue. Gue tahu lu semua setuju, semalem itu sebetulnya gue yang 'kegatelan'. Gue yang minta dirangkul, gue juga yang main peluk-peluk Pakdhe. Cowok itu mah nurut-nurut bae biar gue nggak takut. Gue cuma ...
... cuma tiba-tiba nggak bisa lagi ngontrol panas di pipi, setiap ngeliat mukanya. Adegan semalam selalu flashback di kepala gue, jelas detik demi detiknya. Waktu Pakdhe menawarkan tebengan buat pulang bareng semalem, langsung tegas gue tolak. Gue memilih buat order taksi online yang lumayan mahal, daripada sepanjang jalan jantung gue kerja romusha.
Lu bayangin aja, saking kepikirannya, bayangan si bos sukses bikin gue insomnia semalaman. Gue sampe mengamankan si penguin yang kemarin dia beliin di dalam lemari, karena setiap liat penguinnya gue jadi deg-degan lagi. Mampus, freak banget gue. Parahnya lagi, sampai sekarang gue masih bisa merasakan hangatnya tubuh Pakdhe yang semalam gue peluk.
Ya, kan. Norak kan gue? Iya, gue paham, makanya gue kabur.
Gue memberanikan diri mengintip ke dalam. Ruangan itu dindingnya dari kaca, jadi kita bisa lihat di dalam ruangan lagi pada ngapain. Ada sih lapisan anti-spy supaya nggak bisa diintip dari luar, tapi masih ada bagian yang dibiarkan bening tanpa anti-spy. Tujuannya? Ya supaya karyawan nggak pada macem-macem di dalem.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...