15 - Dasar Ganjen!

3.8K 357 21
                                    

Kami sampai di villa lebih cepat dari dugaan, bahkan Aldo pun terkaget karena waktu kami mengabari sudah di villa, ia masih keluar belanja perlengkapan dan konsumsi. Mempertimbangkan yang bawa mobil adalah supir bus AKAP, sepertinya hal itu sudah bisa ditebak. Bahkan, Pakdhe sama sekali nggak mampir di rest area. Ia bahkan tak mempedulikan rengekan Mas Andri yang kebelet kencing di sepanjang jalan. Dia malah minta gue buat ngasih botol air mineral buat Mas Andri. Dikira dia bocil, bisa pipis di botol.

Sampai villa, Mas Andri langsung ngibrit ke kamar mandi, disambut cibiran Pakdhe.

"Yeu ... Buru-buru amat, Bang. Mau melahirkan lu?"

"Udah diujung, Mas!" seru Mas Andri sambil menutup pintu kamar mandi.

"Saya juga, Mas." Mas Danang menyusul Mas Andri dengan langkah dipercepat, lalu memasuki kamar mandi satunya.

Pakdhe yang menenteng tas-tas kami untuk dibawa masuk ke dalam villa cuma geleng-geleng kepala, diikuti kekehan Eve dan Kanaya yang mengikuti dari belakang. "Heran. Jadi laki-laki pada beseran amat kaya anak perawan."

Tak lama setelah semua barang selesai dipindahkan dari bagasi ke villa, Aldo masuk dengan membawa satu kantong belanja besar. "Wah, udah pada datang nih?"

"Do, beli apa aja? Sini gue lihat!" Eve, ketua event organizer langsung menghampiri Aldo dan menginspeksi belanjaannya. "Kon beli semua yang aku list, kan?"

"Yoo, tapi aku bingung iki," ia mengambil secarik kertas, lalu menunjuk satu baris, "Fiesta yang ada di listmu itu fiesta kondom apa nugget?"

"Goblok!" Eve menepok mulut Aldo keras-keras. Gue dan Kanaya pura-pura nggak dengar dan sibuk membereskan tas masing-masing. Pakdhe yang duduk di sofa ruang keluarga hanya memicingkan mata dengan jijik ke arah Aldo.

"Siapa yang mau mandi duluan?" Pakdhe masih tampak bersandar di sofa ruang tengah sambil memainkan ponselnya. "Cewek-cewek mau duluan? Kalo iya, gue tinggal tidur dulu. Capek gue."

"Tidur dulu aja Mas Tion." sahut Kanaya dengan suara yang dibuat selembut bulu kuduk. "Mas Tion mau aku bikinin teh manis, biar seger?"

Pakdhe hanya menatap Kanaya sekilas. Ia bangkit dari tempat duduknya, lalu berjalan melewati kami berdua menuju tangga. "Nggak. Makasih." sahutnya cuek sambil menaiki tangga, lalu memasuki salah satu kamar di lantai dua dan menutup pintunya. Tepar dia sepertinya.

Kanaya tampak kecewa menatap ke arah kamar yang dimasuki Pakdhe. Gue melirik. Yah, emang susah Bu, pedekate sama pohon mangga. Kecuali lu kalong.

"Ih, siapa tuh yang mau bikin teh?" Mas Andri sekonyong-konyong muncul dari dapur bak kecoak, dengan cengiran lebar. Diikuti Mas Danang dan Aldo di belakangnya.

"Boleh dong dek Kanaya, dingin nih, butuh yang manis dan anget-anget." Aldo cengar cengir. "Apalagi dibikininnya sama yang manis juga, kayak kamu. Anjir ... fak kata gua teh."

Kanaya cuma tersenyum kecut, ga berhasil pedekate, malah kedatengan tiga jin botol. Gagal maning, gagal maning.

"By the way, malam ini pada mau makan di luar nggak?" Eve muncul di belakang Mas Danang, lalu mengambil posisi dan duduk di sofa ruang tengah sebelah Aldo. "Ada cafe di deket sini. Pemandangannya bagus. Aku males yo, nek disuruh masak sekarang. Kalau pada mau nge-teh, mending di sana aja. Gimana?"

"Setuju. Saya laper sih. Ayo aja, nanti saya yang nyetir." Mas Danang menawarkan diri. "Mas Tion nanti kita beliin nasi goreng aja, biarin aja dia istirahat dulu."

"Boleh-boleh. Saya pengen kopi." sahut Mas Andri. "Ayo, Aldo. Kamu lupa beli kopi kan tadi. Nanti kita sekalian mampir lagi aja di minimarket beli persediaan kopi."

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang