"Sha."
Tenggorokan gue tercekat ketika tiba-tiba sesosok pria muncul dari belakang, dan mendaratkan pantatnya ke sofa di hadapan gue dengan buru-buru. Ia bersandar sejenak dan mengatur nafasnya yang sedikit terengah-engah, kaya yang habis lari maraton.
"Lu pikir gue nggak bisa tahu lu cabut kemana, hah?!"
***
Mata gue membelalak sejenak. Gue reflek - sangat reflek, tiba-tiba berdiri dan mencoba kabur dari tempat duduk gue. Gue sendiri kaget kenapa reflek gue pada saat itu adalah kabur, padahal pria di depan gue ini bukan setan.
Sayangnya reflek Pakdhe jauh lebih bagus dari gue. Secepat kilat ia berdiri dan mencengkeram pergelangan tangan gue. Setan! Sejenak kita kayak adegan di FTV jadul di saluran TV kabel, mengundang beberapa pengunjung yang sedang antri pesanan sedikit melirik ke arah kami. Setengah mati gue berbaik sangka, menepis pemikiran bahwa mereka mungkin mengira kami sedang casting sinetron.
"Mas, lepas!" bisik gue panik.
"Jangan kabur! Duduk dulu!"
"Iya, tapi lepasin, malu tau!"
"Nggak akan sampai lu duduk!"
Gue menyerah. Gue mendaratkan bokong dengan sedikit keras karena kesal - yang gue sesali setelahnya, karena pinggang gue jadi ngilu.
Pakdhe melepaskan cengkeramannya dan ikut duduk. Tatapannya sama sekali nggak lepas dari gue sedetikpun. Sedikit lama kami cuma bertatapan. Gue jadi memperhatikan ekspresinya yang gue nggak tahu - kesal, marah, khawatir, menyesal, atau apa? Tiba-tiba gue jadi nggak mengerti ekspresi manusia.
Setelah beberapa menit, setelah yakin gue nggak akan kabur, ia sedikit mengendurkan kerutan alisnya yang tebal dan menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Memejamkan mata sambil menghela nafas panjang, kemudian memijat-mijat jidatnya sendiri.
"Gue nggak tahu mau bilang apa ke lu." katanya dengan lirih, suaranya sedikit serak saking pelannya.
Gue mengernyitkan alis. "Kalau nggak tahu, kenapa nyusul kesini?"
"Mana gue tahu. Badan gue bergerak sendiri."
Gue tambah nggak ngerti.
Gue mengamati pria itu yang masih memejamkan mata dan memijat jidatnya. Wajahnya yang seperti biasa - ganteng effortless - entah kenapa hari ini tampak lebih lelah dari biasanya. Mukanya seperti orang yang belum tidur semalaman. Apa kemarin setelah pulang, dia lembur di rumah? Entahlah, gue berusaha nggak peduli.
Dia aja nggak peduli sama gue, kenapa gue harus peduli sama dia?
"Soal yang tadi, apa gue harus minta maaf?" tanyanya tiba-tiba.
Gue mencibir. "Jangan minta maaf kalau nggak tahu salahnya apa."
"Gue terlalu keras. Lupa kalau lu cewek."
Apakah selama ini gue terlihat macho di matanya?
"Semalam gue habis marah-marah ke Aldo, sepertinya kebawa emosi." ia menegakkan punggungnya. Menatap gue dalam-dalam. "Tapi gue tahu itu bukan excuse buat gue marah-marah ke lu. Gue serius. I'm sorry for being not professional."
Gue membalas tatapannya. Sepertinya cewek manapun akan meleyot kalau ditatap Pakdhe dengan mata tajamnya selekat itu. Tapi sayangnya, seperti katanya - mungkin gue bukan cewek tulen. Gue sama sekali tidak terlena, malah memalingkan muka sambil melipat tangan di dada, "Bukan itu yang bikin saya kesal. Bukan karena Mas Tion marahin saya and being not professional."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...