Pagi itu adalah hari gue membebaskan si penguin dari lemari baju gue. Penguin itu tampak baik-baik aja ketika gue ambil dan taruh lagi di pinggir kasur, sehat. Meskipun nggak makan nggak minum.
Penguin abu-abu bertopi itu tampak lucu gue dudukin sejajar sama Pipi yang warnanya biru. Warnanya cocok aja, abu-abu dan biru muda. Gue senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Mereka kan sama-sama penguin, satu spesies, cowok-cewek, tampaknya juga saling ada rasa. Apa gue nikahin aja ya dua-duanya?
Gue menepuk jidat sendiri.
Mulai deh, gue ketularan absurdnya Pakdhe. Emang bener kata Mas Andri waktu gue intern, jangan kelamaan bergaul sama Pakdhe. Selain bisa ketambahan banyak kerjaan, keanehannya juga bisa nular.
Entah ide darimana, tiba-tiba gue jadi inget kata-kata Pakdhe beberapa hari yang lalu waktu beli penguin abu-abu itu,
"Penguinnya kan cowok. Lu jangan keinget gue ya, kalau lagi peluk-peluk dia. Tapi kalau lu mau anggep itu gue, terserah lu aja."
Pipi gue mendadak jadi panas cuma dengan mengingat suaranya. Tunggu, tunggu. Kalau si penguin abu-abu itu jadi Pakdhe, si Pipi kan penguin cewek, trus warnanya juga biru muda, warna kesukaan gue ...
... masa Pipi itu, gue?
Gue langsung menjauhkan dua penguin itu dengan cepat, kayak yang bukan muhrimnya. Jangan nanya, gue juga nggak tahu kenapa harus begitu. Insting gue aja yang bilang mereka ga boleh deket-deket.
"Pipi, hati-hati sama cowok ini!" gue menggumam sendiri dengan muka yang memerah, "Dia ganteng, pinter, tapi sinting! Jangan tergoda sama pesonanya ya, Pi!"
***
"Tasha, ntar malem kita bahas perhitungan akuisisi barunya si Ali yang tadi, ya." seru Pakdhe sembari merapikan tumpukan bahan diskusi sisa meeting tadi. "Di cafe depan aja."
Gue agak melongo mendengarnya. Sebenernya itu ajakan biasa, cuma gara-gara muda mudi penguin di kamar gue tadi pagi, kedengerannya jadi agak mendebarkan. "B-berdua aja?"
Pakdhe berhenti sejenak, lalu mengerutkan alis. "Lu mau ajak siapa? Kalau ajak Aldo, bukan kerja kita jadinya, main qiu qiu."
Gue menggeleng. Tuh, aneh banget. Jauh dalam hati, gue jadi nggak pengen ada orang lain yang ikut di diskusi kami berdua. Ya ampun, gue beneran perlu direhab ini kayaknya. Kelamaan sama Pakdhe. Mas Danang juga sih, udah sebulan lebih dia nggak pulang-pulang dari klien Kalimantan. Gue jadi nggak punya waktu buat bikin progress sama dia.
"Tapi, Sha, gue boleh ajak satu orang?"
"Hah?" hati gue langsung mendadak letih lesu mendengar kata 'ajak satu orang'. Berarti bakal ada orang lain di antara kami?
Eh, Sha, ya nggak apa-apa, kali! Malah bagus, lu nggak berdua doang sama bos sinting lu itu! Kenapa lu malah kesel?
Pakdhe tersenyum tipis. "Cewek. Serumah sama gue. Lu jangan kaget ya ketemu dia."
"Hah?" (2)
Pria itu mengeraskan tawanya ngeliat ekspresi gue yang makin bengong. Sumpah, beneran ini gue bengong banget. Bener sih, gue selama ini nggak pernah tau latar belakang Pakdhe, termasuk siapa aja yang serumah sama dia.
Masa iya istrinya? Atau jangan-jangan tunangan? Atau ... pacar yang kumpul kebo? Aaaa, apa siiih?!
Kenapa sih ada manusia semisterius dia, yang brengseknya, bikin gue kepo!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...