Dalam sekejap, rencana Pakdhe berjalan dengan begitu cepat. Eve, si gadis ajaib spesialis event organizer, tiba-tiba udah keluar dengan masterplan dan itinerary bertajuk 'Tion Team Goes to Bandoeng' di pagi keesokan harinya.
"Aldo katanya ke Bandung duluan pagi ini, sekalian nengokin kliennya yang di Bandung. Jadi nanti dia nggak ikut mobil Mas Tion. Katanya dia juga punya temen yang punya villa di Lembang. Semalam kami udah koordinasi sama temennya itu, katanya villa itu bisa kita book sampai Minggu. Untuk DP tadi pagi sudah saya bayar." jelas Eve di forum dalam ruangan meeting, berisikan Pakdhe, Mas Danang, Mas Andri, gue, dan Kanaya.
Pakdhe manggut-manggut. "Berarti untuk penginapan, beres ya."
"Betul, Mas. Siang ini Aldo check in kesana, jadi waktu kita semua sampai, udah tinggal tempati aja."
"Berapa kamar, Eve?" tanya Mas Andri.
"Katanya sih tiga kamar, Mas. Satu kamar besar di lantai satu, dua kamar kecil di lantai atas. Sebentar saya show aja." Eve meraih laptopnya yang tersambung ke proyektor, lalu menayangkan sebuah denah villa.
Gue yakin kami semua kagum dengan riset Eve yang sekompleks ini dalam semalam.
"Villanya lumayan luas sih Mas. Ada dapur, ruang makan, ruang keluarga, dua kamar mandi, dan ada halaman outdoornya juga disini." ia menunjuk denahnya. "Cukup lah, kalau buat kita berenam. Nanti saya, Tasha, dan Kanaya bisa tidur di kamar bawah bertiga. Mas Tion, Mas Danang, Mas Andri, Aldo, di atas berdua-berdua."
"Danang, lu sama gue ya." Pakdhe buru-buru ngetag Mas Danang. Yang di-tag sekilas kecewa, tapi berusaha tegar. Soalnya udah kebayang pasti disuruh nemenin sebat sampai pagi.
"Soal makanan gampang, Aldo tadi saya suruh sekalian beli stok mie instan, dan bahan-bahan kayak telur, bawang-bawangan, dan makanan kecil. Kita nggak usah mewah-mewah ya Mas, yang penting bareng-bareng aja."
"Siap Bu. Yang penting Andri harus masak." Pakdhe melirik Mas Andri.
"Masak aer aja gosong saya." sahut Mas Andri sambil merengut. "Kalau capek kita pesan online aja, deh. Itu buat jaga-jaga aja."
"Kanaya bisa masak kok, Mas." celetuk Kanaya sambil tersenyum. "Nanti aku masakin buat Mas Tion dan teman-teman."
"Tuh Ndri, dengerin, staf lu aja perhatian sama gue." ledek Pakdhe, membuat mulut Mas Andri semakin manyun. "Lu juga Sha! Belajar tuh masak sama dia!"
Gue ikut manyun. Dih, kenapa jadi gue dibawa-bawa.
"Sabar semuanya. Sekarang diskusi tujuan wisatanya ya. Karena sebetulnya efektif kita cuma sehari di hari Sabtu, ide saya sih pagi kita jogging di GOR Saparua, siang jalan-jalan ke Lembang Zoo, malamnya kita jalan-jalan ke Braga atau alun-alun. Gimana?"
Pakdhe mengangkat bahu. "Gue terserah kalian aja."
"Iya. Cewek-cewek kan biasanya lebih jago milih begituan. Kita bapak-bapak ikut aja." sahut Mas Danang.
Gue dan Kanaya saling melirik. Kelihatannya, kami berdua juga setuju. Yang penting kan bareng-bareng. Lagian tiga bapak-bapak ini paling sampai sana cuma sebat, atau duduk-duduk cari jajanan.
"Okay." tuntas Eve, "berarti sekarang, tinggal tunggu jam tiga sore, lalu kita berangkat."
***
Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih limabelas. Gue, Pakdhe, Eve, Kanaya, dan Mas Danang sudah ready di parkiran, berdiri di depan mobil Fortuner hitam milik Pakdhe.
Mas Andri datang lima belas menit kemudian, menghampiri kami dengan tergopoh-gopoh. "Sorry teman-teman, tadi Pak Damar ngasih tugas dadakan. Tapi saya udah izin kok tadi."
"Makanya, kalau mau pulang cepat kasih tahu dulu ke partner!" omel Pakdhe yang sedikit kesal dibuat menunggu. "Yaudah, satu nemenin gue di depan. Jangan Tasha, dia nggak bisa baca Maps. Nanti nyasar ke Semarang kita."
Gue manyun, sementara Eve menahan tawa.
"Saya aja Mas?" tawar Mas Andri.
"Ndri, lu sama gue aja di paling belakang!" potong Mas Danang. "Masa lu mau suruh ada cewek yang duduk di jok paling belakang sih."
Gue terpesona. Mas Danang terlihat gentlemen sekali waktu menarik Mas Andri duduk di jok paling belakang.
Tersisa Pakdhe, gue, Eve, dan Kanaya di luar mobil.
"Aku aja boleh nggak Mas?" Kanaya menawarkan diri dengan malu-malu tapi sangat mau. "Aku bisa baca Maps kok, tapi kalau salah jangan dimarahin ya, Mas Tion, hehe."
Gue dan Eve langsung saling melirik. Bisa ae modusnya nih bocil. Ya, tapi baguslah. Gue dan Eve bisa tenang duduk di tengah tanpa harus stand by Maps.
Mas Tion cuma mengedikkan bahunya. Sama sekali tidak terpengaruh keimutan Kanaya. "Suka-suka lu. Yaudah cepetan pada naik, nanti sore keburu macet, bisa naik darah gue." hardiknya.
***
Hampir satu jam berlalu sejak detik pertama Pakdhe tancap gas. Kami, masih berada di kecepatan 60-80 km/jam, sesekali ditancap ke 100 km/jam.
Apakah itu ngebut? Yes. Dengan kecepatan itu dan ukuran mobilnya yang lumayan gede, gue harus akui, skill mengemudi Pakdhe mungkin bisa menyaingi Dominic Toretto atau supir bis Damri. Kalau lu pernah naik bus malam yang ngebut dan membahayakan jiwa, itu posisi kami sekarang. Pakdhe mengemudi seolah-olah nyawanya bisa isi ulang. Ngebut dan bernyali, bahkan sesekali ia menyelinap di samping truk raksasa dengan santai dan sambil bersenandung.
Eve daritadi diam, tapi matanya melotot tegang ke depan sambil terus menggumam 'astaghfirullah' dan 'pelan-pelan pak supir'. Gue yang duduk di belakang jok pengemudi, berpegangan erat ke jok Pakdhe. Berharap aura-aura sabar gue perlahan tertransfer ke Pakdhe. Kalau bukan bos gue, rasanya gue udah tabokin bahunya dari belakang. Sementara Kanaya, Mas Danang dan Mas Andri, tak terdengar suaranya, antara tegang atau ketiduran. Tapi kayaknya mustahil tidur dengan cara menyetir Pakdhe yang setara ujian SIM supir truk gandeng.
"Mas Tion." Mas Andri buka suara.
"Yup?" sahut Pakdhe santai sambil melakukan tikungan dengan kecepatan 80km/jam.
"Mas, pulangnya nanti saya aja yang nyetir ya."
"Oh, boleh boleh. Tumben Ndri, kok lu baik."
"Nggak apa-apa, takut Mas Tion capek, hehe." Mas Andri terkekeh. Dalam hati gue berterimakasih dan mengerti, sepertinya di kesempatan selanjutnya nyawa kami semua memang harus diselamatkan.
"Sha, kamu tadi ada permen mint kan." suara Mas Danang berbisik di belakang, "minta dong, Sha."
"Lu kenapa Danang, mabok?" sahut Pakdhe dari depan, mengarahkan kaca depan ke arah jok belakang. Memastikan dua manajernya masih hidup.
"E-enggak, Mas. Andri nih mabok, daritadi katanya mau muntah! Lemah emang dia Mas."
Mas Andri mengernyitkan alis, "Lah, kok jadi gue?"
Gue dan Eve menahan tawa melihat pertengkaran dua bapak-bapak itu. Tapi kami berdua juga bisa membayangkan duduk di jok belakang dengan supir model Pakdhe begini. Isi perut mereka kayaknya udah ke-blender daritadi. Kalau kami yang duduk di belakang kayaknya udah muntah daritadi.
"Kanaya, lu daritadi diam aja. Aman?" tanya Pakdhe menyapa Kanaya di sebelahnya, yang juga daritadi nggak ada suaranya.
"Aman, Mas. Aman-aman." sahut Kanaya lirih sambil memaksakan diri tersenyum. Kayaknya dia gagal modus duduk di kursi depan dan ngajak ngobrol Pakdhe. Gue nggak bisa bayangin duduk di depan dengan supir ugal-ugalan, kondisinya sama aja kayak duduk di kursi paling depan bus malam antar provinsi. Rasanya kayak lagi nontonin si supir ngeledekin malaikat pencabut nyawa, atau nonton final destination live action.
Sepanjang perjalanan, kami berlima hanya diam dan berzikir di dalam hati, sambil sepakat di sisa hidup kami akan mencegah Pakdhe jadi supir lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...