32 - Puisi dan Hustle Culture

3.4K 297 12
                                    

Pintu

Aku pikir pintu ini hanya ada satu

Akan terbuka, kuharap oleh kau

Pintu yang hanya ada satu ini hanya mengharap kau

Namun, pintu ini mulai goyah

Tak yakin akan pemilik sebenarnya

Mengharapkan kau, namun serasa tak bisa

Atau ...

Haruskah mengharap orang yg berbeda?

Jika tak ingin

Lalu harus bagaimana?

- by NA, 2023

---

"Widih, gue liat-liat, ada bakat lo!"

Aldo merebut kertas yang tadinya sedang gue tulis. Bangke! Kok bisa gue nggak sadar ada dia daritadi di belakang gue!

"Aldo! Balikin!" gue meloncat mencoba meraih kertas di tangan Aldo, yang mengacungkannya tinggi-tinggi. Sayang banget, Aldo itu badannya kayak Giant, temennya Nobita (bukan supermarket). Dia tinggi gempal, jadi buat meraih kertas di tangannya memang agak mustahil. Ya bisa, cuma gue mesti nabrak dulu ke perutnya yang udah terlalu offside ke depan. Kan males. Kalau kepental, gue repot juga.

"Apa nih? 'Pintu. Aku pikir pintu ini hanya ada satu'." ia mengerutkan alisnya, "Nggak juga. Disini kan ada pintu darurat. Tolol, lu."

Emang gini nih kalau adonan martabak disuruh baca puisi. Nggak estetik.

"Balikin sini deh," gue meminta baik-baik, "lu nggak bakalan ngerti seni, Do."

"Tentang apaan si?"

"Nggak penting! Udah balikin!"

"Alah, paling juga tentang Mas Danang."

"Apaan sih, ribut-ribut." Tiba-tiba sebuah tangan tampak merampas kertas itu dari belakang tubuh Aldo. Kakulah tubuh kami berdua waktu menoleh ke sosok itu.

Pakdhe terlihat menyipitkan mata membaca puisi gue yang ada di tangannya, sambil tangan satunya berkacak pinggang. Membaca dengan saksama tulisan gue itu. Gue dan Aldo masih mematung. Nggak ada yang nyangka dia bakal sekonyong-konyong nongol nyamperin meja kami, yang notabene jarak dari ruangannya mesti nyebrang pulau dulu.

"Siapa yang nulis?"

Aldo yang emang gen cepunya udah menyebar ke seluruh sel-sel tubuhnya, langsung menunjuk gue. Pakdhe tertawa sambil menepok punggung Aldo.

"Suka kocak lu, Do."

"Lah, emang bener, Mas. Tasha yang nulis."

"Hah?"

Mata Pakdhe menyipit. Ia memandang kertas, beralih memandang gue, lalu ke kertas lagi.

Ia menabok lagi punggung Aldo. "Kacau lu, Do. Tampang macem Undertaker begitu masa nulis puisi? Nih, gue balikin. Yuk, ah, temenin gue sebat." katanya sambil berbalik dan berjalan meninggalkan kami berdua.

Gue hampir menyeruduk Pakdhe kalau aja Aldo nggak sigap menahan kedua tangan gue. Dia kira gue nggak tahu siapa Undertaker?

***

"Coba, buka file presentasi yang kemarin, Sha. Udah lu kerjain kan, yang kemarin gue minta?"

Dengan malas-malasan gue membuka file powerpoint yang dimaksud di laptop gue. Sementara di hadapan gue, Pakdhe masih fokus dengan layar laptopnya yang terhubung dengan laptop gue via share screen. Kali ini gue udah sadar diri. Nggak buka chat WhatsApp sembarangan lagi kalau lagi share screen.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang