Prolog

20K 776 26
                                    

Gue membaca sekali lagi nama interviewer wawancara gue yang terpampang di kaca ruangan interview. Jatmiko Gumelar N.. Sambil menghela nafas, gue meyakinkan diri sebelum memasuki ruangan tiga puluh menit lagi. Kata Mama, nama itu doa. Jatmiko itu artinya sopan santun, dan kayaknya, itu nama orang jawa alus.

Sudah sopan, alus, Jawa pula. Harusnya interviewer gue nggak sesangar itu. Masa bodo kalau dibilang gue rasis atau stigmatis, seenggaknya anggapan itu bisa menenangkan gue di kali keduapuluh gue menghadapi wawancara kerja.

Maklum, namanya freshgraduate, belum keterima kerja enam bulan setelah lulus, pasti panik. Ya, gue sedang mengalami masa itu. Saking bosannya gue ditolak melulu, semalam gue akhirnya menyerah dan mencoba konsultasi ke sepupu gue yang jadi HRD di perusahaan swasta. Coba caritahu gimana cara menghadapi interviewer. Dia memberikan bocoran, terutama kalau interviewernya orang Jawa. Gue nggak paham kenapa, sepupu gue ini bisa detail banget jelasin karakteristik pewawancara orang jawa, gimana cara membuat dia tertarik sama kita, dan gimana cara mengelak dari pertanyaan-pertanyaan menjebaknya. Mungkin, karena dia kerja di Jogjakarta, jadi dia tahu banget karakteristik pewawancara Jawa.

Dan saking detailnya, gue sampai hafal gue harus gimana nanti. Lu harus tahu betapa bersyukurnya gue ketika nama pewawancara gue yang njowo itu muncul di kertas pengumuman. So finally, this is God's plan! This is my time for shine!

Pintu ruangan interview terbuka. Gadis bersetelan sama denganku, kemeja putih dan rok hitam, keluar dengan lesu. Wajahnya yang mungil makin kelelep karena ia menunduk, poni lemparnya jatuh menutupi mukanya. Gue tercengang, lah ini interview apa sidang skripsi? Memang di dalam diapain?

Ah, mungkin dia memang dari awal agak sakit, masuk angin pasti. Gue segera menepis pikiran gue yang nggak-nggak.

"Ih, tuh kan bener apa kata kakak gue!" tiba-tiba terdengar suara mencicit dari sebelah. Memecah fokus gue sejenak.

Mau nggak mau, jiwa ghibah gue terpancing dan menoleh.

Gue mendapati dua kandidat yang duduk di sebelah sedang asyik bergunjing. Kelihatannya seru banget, dan yang membuat gue makin tertarik adalah ... kayaknya pembicaraan mereka menangkap sesuatu mengenai si interviewer. Percayalah, lu akan sekepo itu kalau lu ada di posisi gue sekarang.

Gue membuang tengsin dan gengsi gue jauh-jauh, mencoba masuk dalam percakapan dengan mulus.

"Eh, yang tadi mbaknya lemes banget, ya?" gue masuk ke pembicaraan, ketika keduanya sedang terdiam sesaat.

Berhasil, kedua kandidat itu menoleh bersamaan. Ekspresi wajah mereka terlihat siap untuk menyambut gue sebagai anggota baru dalam forum pergunjingan mereka.

"Kita baru ngomongin itu tadi, ya kan Sel?" tanya si rambut pendek ke teman sebelahnya. Teman sebelahnya – yang rambutnya dikucir, mengangguk antusias. Aduh, memang kami kaum wanita dengan mudah bisa dipersatukan dengan cara berghibah.

"Kakak gue kerja disini, sis," katanya mulai membuka forum, "temennya dia pernah under si Bapak interviewer, tapi dia resign karena nggak kuat!"

Mata gue menyipit, "Kenapa emang Bapaknya?"

"Katanya, serem gitu sis. Galak! Katanya malah paling galak satu grup. Suka marah-marahin anak buahnya keras banget kalo di ruangannya. Jadi kedengeran gitu dari luar. Kakak gue aja ngeri pisan sama dia!" jelasnya dengan nada yang sangat persuasif. Hanya dengan mendengar doi cerita, gue otomatis jadi paranoid dengan orang ini.

"Belum lagi suka lembur tadi kata lu," si rambut pendek menambahkan, "dia suka ngasih kerjaan di saat-saat jam pulang gitu. Males banget gak sih, sis?"

Gue mulai merasa ada yang nggak beres, "Mmm ... tapi bukannya dia orang Jawa ya? Emang segalak itu?"

Keduanya berpandangan sesaat. Sama-sama memasang muka bingung. Lalu menoleh lagi ke arah gue,

"Jawa darimananya?"

Belum sempat gue menjawab, nama gue dipanggil dari dalam ruangan. Sontak kami bertiga menoleh, sebelum akhirnya dua gadis itu menatap gue dengan tatapan melas.

Gue beranjak dari kursi, lalu menghela nafas sejenak. Menghilangkan semua pikiran buruk gue, dan berdoa sebisanya. Gue menanggapi seadanya dua teman ghibah gue yang menyemangati dari belakang, dan memasuki ruangan dengan sisa kepercayaan diri yang masih ada.

Di dalam ruangan kecil itu, cuma ada satu meja, dengan dua kursi yang saling berhadapan. Ada satu kursi lain di ujung ruangan, yang diduduki oleh wanita berjas formal yang barusan memanggil gue untuk masuk ruangan. Kalo kata sepupu gue, biasanya waktu wawancara user, perusahaan akan menyertakan satu psikolog untuk membaca gerak-gerik dan nada suara kandidatnya.

Wanita itu mempersilakan gue duduk di hadapan seorang pria, yang langsung bisa kutebak dia adalah Pak Jatmiko. Gue menelan ludah sesaat, perawakannya jauh berbeda dari bayangan gue. Yang ada di bayangan gue untuk seseorang dengan nama jawa jadul adalah pria berumur, dengan kemeja batik, perut buncit, kumis dan janggut, serta senyum mesum ala-ala Pak RT atau ketua kompleks.

Nggak. Ini beda.

Di hadapan gue adalah seorang laki-laki paruh baya, dengan tubuh tegap proporsional, tinggi, dan bahu bidang. Alisnya tebal bak ulat bulu, dengan sorot mata tajam yang membius. Hidungnya bangir. Bibirnya cool tanpa senyum, dengan hiasan kumis tipis dan bekas cukuran jenggot di garis rahangnya yang tegas. Setelannya sederhana, tapi rapi dan menawan: kemeja putih, dasi hitam, dan jas formal hitam. Rambutnya tersisir rapi dengan kilauan pomade, membuat gue semakin cengo melihatnya.

Anjir, kayaknya gue salah masuk ruangan, deh. Ini ruangan buat audisi model, atau gimana??

"Natasha Andriana, ya?" ia membolak-balik berkas gue didalam map merah di tangannya. Suaranya yang manly – berat dan serak – makin membuat gue klepek-klepek. Ini mana 'bapak-bapak galak' yang tadi kita gibahin?

"I ... iya Mas, eh, Pak ..." gue salting. Nggak kekontrol, maklum jiwa jomblo meronta-ronta. Untung gue nggak jawab 'iya, Yang'!

"Sebelumnya perkenalkan," ia mengulurkan tangannya, "Saya biasa dipanggil Tion."

Gue menyambut tangannya sambil mengernyitkan alis, "Tion?" Tion darimana?

"Nama lengkap saya Jatmiko Gumelar Nasution."

Gue merutuk dalam hati. Sia-sia dong gue ngapalin cara menangani orang Jawa, lha ini ternyata orang Batak!!

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang