Pagi itu gue bangun kecepetan. Jam setengah enam. Kanaya dan Eve masih berlayar di alam mimpi dalam posisi masing-masing.
Gue memandang sekeliling kamar. Tadinya gue coba tidur lagi, tapi sepertinya otak gue emang agak ambis pagi ini, memaksa gue buat produktif dan nggak molor lagi.
Sebetulnya sepanjang malam, gue jadi mikirin lagi kata-kata Pakdhe terakhir kemarin. Dia bilang dia gak bakalan ganggu gue lagi. Entah apa yang dia maksud, tapi memang, setelah itu dia kelihatan banget menjauh. Sepanjang perjalanan pulang kami, dia masih bercanda dengan yang lain, kecuali gue. Gue cuma sesekali aja ikutan ketawa formalitas.
Bahkan dia melirik gue pun nggak.
Pakdhe pelan-pelan kayaknya mulai menanggapi Kanaya. Sepanjang perjalanan, yang biasanya cuek bebek, mulai sering godain anak itu. Gue nggak tahu, apa emang bapak-bapak satu itu keganjenan atau emang Kanaya yang agak pick me, tapi mereka kelihatan dekat selama di mobil waktu pulang kemarin.
Tapi, kenapa gue peduli coba? Kan inceran gue bukan Pakdhe, tapi Mas Danang.
Gue keluar pintu kamar dengan lemas, nyawa gue kayaknya baru seperempat ngumpul. Niatnya, gue mau ambil minum di dapur, lalu duduk di halaman tengah menghirup udara pagi, sebelum nanti kita balik ke Jakarta jam 10. Lumayan paru-paru gue bisa healing sebentar di Bandung, setelah di Jakarta menghirup knalpot kopaja setiap hari.
Sambil menunggu gelas gue terisi penuh air dari dispenser, terdengar suara pintu kamar mandi di belakang gue terbuka. Gue reflek menoleh.
Rasanya usus gue mau copot begitu tahu yang keluar siapa.
Pakdhe tampak keluar kamar mandi sambil menggosok-gosok rambutnya yang masih basah. Mata kami bertemu sebentar. Pria itu keluar hanya mengenakan kaos dalam warna putih dan celana training hitam yang kemarin. Gue hampir teriak dan cepat-cepat memalingkan wajah. Badan gue kaku kayak gorengan kematengan, berdiri membatu di depan dispenser. Rasanya gue pengen banget belajar ilmu menghilang saat ini.
"Hei." sapanya datar.
"H ... Hei ... Pagi, Mas ..." gue masih berusaha menghapus bayangan tubuh Pakdhe yang biarpun sedikit kurus tapi ternyata cukup berotot, nggak sekerempeng kelihatannya. Tasha, jangan mikir jorok pagi-pagi, apalagi itu bos lu!
"Pagi." Ia cuma membalas sekenanya. Dari sudut mata gue, terlihat ia berjalan ke arah meja makan di sebelah kamar mandi, membuka tudung saji, lalu mencomot telur dadar sisa semalam dan mengunyahnya.
Mampus, awkward banget nggak gue disini?
"Bangun pagi juga, Mas?" gue mencoba basa basi busuk, sambil pelan-pelan membalikkan tubuh menghadapnya. Berusaha nggak salah fokus ke tubuh bagian atasnya yang masih cuma tertutup kaos dalam.
Tenang Tasha. Koko-koko yang jual kelontong di depan kosan lu, kalo pagi-pagi juga buka toko cuma pake singlet, sambil nyiramin jalan pulak! Masa liat gini doang degdegan? Kan mereka sama-sama bapak-bapak, apa bedanya?!
"Iya. Habis jogging." sahutnya tanpa menoleh.
"Oh, dimana Mas?"
Ia tak menjawab, cuma menunjuk arah luar sambil mulutnya masih mengunyah telor dadar sambil duduk di kursi meja makan.
Gue meringis. Kayaknya memang dia nggak pengen ngobrol sama gue. Pandangan pria itu terfokus di handphone-nya, seolah-olah memang dia nggak lihat gue sama sekali. Gue yang masih berdiri tegap menghadap Pakdhe jadi tambah awkward. Gue jadi kayak lagi upacara, berdiri paling depan berhadap-hadapan sama Kepala Sekolah, yang nggak mungkin kepikiran buat ngobrol sama gue.
Tiba-tiba, Kanaya masuk ke dapur masih dengan piyama tidurnya sambil mengucek mata. Nyawanya masih setengah ngumpul. Matanya kemudian mulai menyipit ketika menemukan wujud Pakdhe yang sedang mengunyah telor dadar. Seketika matanya membelalak ketika sadar pria itu hampir topless, cuma pakai kaos dalam.
Pakdhe yang menyadari kalau Kanaya masuk, tiba-tiba mukanya sumringah, kayak artis korea lagi jumpa fans. "Hei, baru bangun?" sapanya ceria.
Kanaya baru panik, ia memekik sambil menutup matanya. Mukanya merah bak kepiting rebus.
"Mas Tioooon!!! Kenapa nggak pakai bajuuuu!!" teriaknya sambil membalikkan badan dengan panik, memunggungi Pakdhe yang bingung sambil mulai tertawa melihat saltingnya Kanaya.
"Apaan sih?! Gue nggak bugil, orang gue masih pakai kaos!"
"Iyaaa kaos, tapi kaos dalem doaaang!!" gadis itu tiba-tiba berbalik, lalu lari menuju kamarnya, "Aku takut banget! Pakai kaos yang bener dulu, Mass!!"
Pakdhe tertawa terbahak-bahak dengan posisi masih duduk. Gue masih berdiri di depan dispenser, tapi sekarang memunggungi dia karena kami sama-sama menonton Kanaya yang masuk kamar dan menutup pintu dari dalam sambil berteriak-teriak salting. Suasana di dalam kamar tampaknya makin meriah karena Eve terdengar marah-marah, pasti dia kebangun karena pagi-pagi udah berisik.
Diam-diam gue melirik Pakdhe dari sudut mata. Muka gue tiba-tiba panas, dan reflek membuang wajah ke depan, karena Pakdhe ternyata sedang mengamati gue dari belakang.
Mampus gue! Kok bisa-bisanya gue apes melulu, ketemu mata sama dia!
Tiba-tiba terdengar suara kursi berderit. Hati gue makin mencelos ketika setelahnya terdengar suara langkah kaki mendekat perlahan dari belakang. Gue tahu, Pakdhe berjalan mendekat, tapi yang gue nggak tahu, gue harus ngapain karena lutut gue mendadak lemes.
Suara langkah itu berhenti tepat di samping gue. Gue mematung, sambil tetap memaksa jantung gue buat tenang. Duh! Mau apalagi dia kali ini?! Apa dia bakal jailin gue? Atau lebih parahnya, karena kita cuma berduaan di dapur, masa iya dia bakalan mesum lagi kayak kemarin?!
Sama sekali gue nggak berani menoleh, bahkan sekedar melirik ke samping. Bahkan gue mengantisipasi nafas gue kedengeran dari samping dengan memperlambat tarikan nafas. Kami berdua hanya berdiri berdampingan tanpa suara sama sekali.
"Sorry ya, pagi-pagi gue udah muncul di hadapan lu."
Jantung gue yang tadinya degdegan grogi setengah mati mikirin hal macem-macem, tiba-tiba berhenti sejenak mendengar suara baritonnya yang lembut dan serak.
Gue ... bingung, harus respon apa. Gue sama sekali nggak menduga ia mengeluarkan kalimat itu.
Gue reflek menoleh. Pria itu sedang tersenyum tipis ke arah gue. Tersenyum aja, datar. Meski wajahnya tetap ganteng, entah kenapa senyuman itu bikin gue kecewa, seperti tanpa nyawa. Nggak ada ekspresi kocak, ramah, hangat, dan iseng khas Pakdhe, yang biasanya bikin dia kelihatan charming.
Entah kenapa gue kangen ekspresi super nyebelin itu di mukanya.
"Gue bakalan di kamar terus sampai kita pulang nanti. Jangan khawatir, lu nggak akan lihat gue sesering itu lagi." ia berhenti sejenak. "Sarapan dulu sana. Masih ada telor."
Ia mulai berjalan perlahan melewati gue, menuju tangga yang mengarah ke kamarnya. Gue cuma memandangi punggung bidangnya dari belakang yang makin menjauh. Tiba-tiba pikiran gue kosong, malah pikiran-pikiran random yang mulai bermunculan. Apa sebelumnya punggung cowok itu sebidang ini? Apa Pakdhe memang setinggi dan setegap itu kalau dilihat dari belakang? Apa memang kakinya sejenjang itu dari dulu? Emang boleh usia 40-an badannya masih sebagus itu?
Sampai bayangan pria itu menghilang masuk ke dalam kamarnya, gue masih berdiri di depan dispenser. Nggak mikir banyak hal. Cuma masih terbayang jelas senyuman kosong Pakdhe yang tadi, yang baru pertama kali gue lihat di hidup gue dari Pakdhe yang super ekspresif.
Yah, kayaknya akhir dari staycation ini bad ending. Gue dan Pakdhe tampaknya bakal punya jarak yang ... sedikit jauh. Entah kenapa, ada sedikit perasaan sedih yang mulai muncul dan bikin dada gue sedikit sesak.
Apa rasanya se-kehilangan ini ya, kalau dia beneran menjauh dari gue?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...