7 - Muka Kucel

4.6K 444 3
                                    

Gue kembali ke bangku gue dengan langkah malas. Bangun kesiangan, dimarahin Pakdhe, dimampus-mampusin, kurang sempurna apalagi hidup gue. Kayaknya kata temen-temen gue bener, kelamaan kerja disini, bisa bikin sinting. Gue sih kalau bisa nggak mau disini sampai sinting, karena kayaknya tabungan gue nggak akan kuat buat bayar biaya rumah sakit jiwa. Gue kemudian mulai memikirkan cita-cita terpendam gue sejak dua tahun lalu:

Apa gue resign aja ya?

Gue duduk di bangku dengan lemas, lalu bertopang dagu. Menatap layar laptop gue yang tengah membuka worksheet excel perhitungan piutang klien, yang mana angka-angka di dalamnya masih gaib dan misteri, muncul darimana gue nggak tahu. Gue mulai memikirkan rencana, kalau misal gue resign, mau kerja dimana diri ini? Ada sih, dulu gue udah daftarin nama di sejumlah situs pencarian kerja, yang sampai sekarang masih rutin mengirimkan email penawaran lowongan kerja. Kalau lihat persyaratannya, gue yakin gue yang hanya remah-remah biskuat inipun bisa lolos seleksi administrasi. Secara, gue punya pengalaman dua tahun, dan kata orang, sertifikat pengalaman kerja dari kantor gue punya 'harga' mahal, artinya banyak diincar pencari kerja. Katanya, karena kualitas orang-orang dari kantor gue ini pasti diatas rata-rata, dan tahan banting. Apalagi kalau pas di kantor ini manajer lu macem Pakdhe gue, yang emang suka banting-banting report dan anak orang.

"Kenapa kon?" tiba-tiba Eve menepuk pundak gue dari belakang, lalu duduk di sebelah sambil membawa setumpuk report.

"Gak apa-apa." gue mencoba tersenyum, "report apalagi tuh?"

Ia membenarkan kacamatanya yang kabarnya minus sembilan itu dengan kesal, "Dikasih klien baru aku sama Pakdhe."

Gue mengangkat alis, "Oh ya? Klien apa?"

"PT Maju Bersama. Initial audit. Tahun lalunya nggak diaudit pula, cacat sih iki tak jamin. Iki report tahun lalunya, angkae gak jelas kabeh."

Gue tertawa kecil. Setidaknya, Eve itu kesayangan Pakdhe. Dikasih klien baru, artinya lu disayang sama bos, dikasih kepercayaan lebih. Seumur-umur, mana pernah gue dikasih klien baru sama Pakdhe selain klien gue yang dari awal masuk dikasih. Pakdhe mengerti sekali kalau ketololan gue ini verified. Ngasih klien baru ke gue sama aja kayak dia nelen wipol dua liter. Mati udah, nggak idup lagi.

"By the way, Pakdhe tadi nanyain kon." Eve terkekeh tiba-tiba, lalu melirik gue, "kon kok disayang banget sih?"

Gue mencibir, "Disayang apaan. Kalo sayang nggak dimarah-marahin."

"Dia nanya, kok muka kon kucel banget hari ini. Habis dugem dimana, katae."

Gue batuk-batuk. Bajirut memang bapak-bapak satu itu, dugeeeeeeem katanya. Jangankan dugem, mungkin baru sampe pintu masuk gue udah diusir keluar sama satpam gara-gara dikira mau minta sumbangan. Tampang gembel kayak gue, dugem darimane coba? Atau jangan-jangan maksudnya 'dugem' itu 'dunia gembel'?

"Ada hubungan gelap ya kon sama Pakdhe?"

"Yang ada, gelep jalan idup gue sama dia." jawab gue ketus sambil beranjak, meninggalkan Eve yang ketawa ketiwi di belakang, nggak ngerti sama sekali apa yang gue rasakan.

***

Gue berdiri menatap etalase buah dingin di minimarket dengan pikiran kosong, sembari menunggu kopi gue dibuat. Saking gelepnya otak, gue akhirnya memutuskan untuk memesan americano di minimarket dekat kantor, berharap kopi akan membantu gue untuk go through the day. Pilihan ini membuat gue harus menolak ajakan Eve untuk makan siang fancy di Sushi Tei favorit gue.

Gue masih punya setengah hari lagi di kantor untuk membiarkan hari berlalu. Gue masih punya setengah hari gue yang harus didedikasikan untuk bekerja sama Pakdhe.

"Pesanan nomor 43!" suara kasir mengagetkan gue yang masih melamun. Gue langsung berlari kecil ke arah kasir, yang sudah menunggu dengan gelas plastik berisi americano di hadapannya. Kasir bertubuh mungil itu tersenyum ramah, "pembayarannya pakai apa, Kak?"

"Cash aja." sahut suara berat di belakang gue.

Gue membatu.

Pakdhe maju ke depan kasir dengan santai, gue yang di sebelahnya cuma bisa cengo menatap pria jangkung itu mengeluarkan uang seratus ribuan dari saku celana mahalnya dengan cuek.

Kayaknya gue mesti rukiyah atau ke ustadz. Gimana bisa gue dimana-mana ketemu bapak ini?

"Sama ini ya Mbak," katanya sambil menyodorkan seabrek keperluan rumah tangga - minyak goreng, air mineral dua liter, sabun, shampoo, sikat gigi, dan - sorry - i dont know why kenapa dia beli celana dalam disini.

Mas, halo, gue liat lho, lu beli cangcut. Ukuran L. Lu nggak mau apa, belinya nanti aja gitu, nggak didepan staff lu.

"Thanks." Pakdhe tersenyum amat tipis – hampir nggak kelihatan ke kasir waktu menerima sekantong barang belanjaannya dan kopi gue. Ia berjalan ke pintu keluar minimarket tanpa melirik gue sedikit pun. Mbak-mbak kasir pun tampaknya bingung melihat gue ditinggalin gitu aja sama bos gue itu.

Lah, itu americano gue ngapa dia bawa, anjir? Gue buru-buru mengejar sosok itu ke arah pintu keluar minimarket.

Pakdhe tengah bersandar di tembok luar minimarket ketika gue keluar, dimana bapak-bapak itu tengah santai menyedot americano tersayang gue. Ia cuma melirik ketika gue berjalan perlahan ke arahnya, dengan tampang datar. Sama sekali nggak ada aura rasa bersalah yang keluar.

Kacrut juga nih orang! Mentang-mentang doi yang bayar, minuman gue diembat!

"Mas!" gue sedikit meninggikan nada suara, "itu kan kopi saya!"

Pria itu cuma menaikkan alis, sementara bibirnya masih nggak mau lepas dari sedotan americano punya gue, yang isinya tinggal setengah. Ni makhluk manusia atau onta, sih?! Ditinggal belom lima menit, minuman gue udah tinggal separoh aja! Kalo bukan bos gue, udah gue seret dan jorokin dari tangga. Lumayan, ini lantai dua, minimal dia patah tulang.

Tiba-tiba ia menyodorkan kantong plastik yang daritadi dibawanya, barang-barang yang dia beli dari minimarket. "Nih!"

Gue melongo. Nggak ngerti.

Ia menggoyangkan kantong plastik itu, "Gue mau sebat sama Peter. Bawain ke meja gua."

Gue tambah melongo. "Hah, gimana-gimana?"

"Oiya, hampir lupa." Ia merogoh saku celananya, mengambil satu lembar lima puluh ribuan, dan menyodorkannya ke gue. "Nih, gue ganti americano lu. Ambil aja sisanya."

"Lah, lah ..."

Pria itu menatap gue kesal, seolah-olah gue habis melakukan kesalahan besar, "Apalagi sih, Sha? Udah sono balik ke atas, taruh itu di meja gua." dia berbalik dan mulai menjauh,

"By the way, muka lu tuh kucel banget. Kalo habis dugem, minimal mandi sebelum ke kantor!" teriaknya di koridor, membuat beberapa orang yang lewat menoleh ke arah gue sambil cekikikan.

Gue tiba-tiba kepikiran, apa cangcut dia yang gue pegang ini, gue jemur aja di depan mejanya dia, ya?

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang