Gue nggak nangis. Gue diem, tanpa ekspresi apapun di muka. Pakdhe menanyai gue macam-macam waktu gue balik dari toilet itu, tapi nggak dapat jawaban apapun selain gue yang jalan gitu aja melewati pria itu. Laki-laki itu mulai tampak khawatir waktu gue nggak bereaksi waktu dipanggil, gue bahkan diem aja waktu Pakdhe mencegat dan mengguncang-guncang bahu gue dengan sedikit keras.
Gue denger dia nanyain keadaan gue. Dia nanya berkali-kali apa yang terjadi. Tapi gue kehilangan kata-kata di otak gue. Gue bahkan diem aja waktu pria itu kehabisan kesabaran, lalu merangkul gue untuk mengikutinya. Nggak, gue nggak menolak physical touchnya seperti biasanya. Bahkan nggak kepikiran sama sekali gue bakal dibawa kemana sama cowok yang panik di sebelah gue.
Perasaan gue serasa bener-bener mati waktu itu.
***
"Kita nggak usah lanjut lembur. Bilang aja, mau jalan-jalan kemana lu malem ini? Gue temenin."
Gue masih diem waktu Pakdhe mulai menghidupkan mesin mobil, setelah berhasil menuntun gue duduk di sebelahnya. Nggak kayak kemarin, gue nggak deg-degan sama sekali saat pria itu hampir menindih gue waktu masangin seatbelt. Gue bahkan berani membalas tatapan pria itu dengan ekspresi datar waktu mata kami bertemu dengan jarak yang hanya beberapa sentimeter.
"Are you okay?"
Nafas hangatnya yang terasa samar-samar nggak membuat gue kalang kabut kayak biasanya. Gue masih menatapnya datar tanpa jawaban. Pria itu menyerah, ia duduk lagi di kursi supir sambil mulai memajukan persneling mobilnya. Mobil mulai berjalan keluar dari parkiran yang sepi dan berjalan perlahan memasuki jalan besar. Masih asal jalan aja, tanpa arah.
"Punya tujuan?"
Gue akhirnya menjawab lirih. "Terserah."
"Kalau jawab sembarangan, nanti lu gue bungkus ke apartemen gue."
Gue menoleh, memandang pria itu yang fokus ke jalanan sambil sesekali melirik ke gue. Hari ini gue nggak punya rasa takut apapun. Gue nggak khawatir sedikitpun kemana Pakdhe bakal bawa gue, gue nggak peduli juga kalau kami berdua akhirnya berakhir di apartemennya dan nggak pulang. Rasanya, gue juga nggak peduli kalau gue akhirnya diapa-apain sama laki-laki ini. "Terserah Mas aja."
Pria itu tampak menghela nafas panjang sambil menggeram kesal. Rahangnya kelihatan mengeras, lirikan matanya ke gue berubah jadi tatapan menusuk. Ekspresi yang dulu bikin gue gemeter saking takutnya. Saat ini kelihatan banget kalau Pakdhe setengah mati menahan amarah. Tapi kali ini, gue nggak takut sama sekali melihatnya.
"Gue nggak ngerti apa yang terjadi tadi. Lu tiba-tiba diem kayak gini, kayak orang kesurupan. Gue nggak tahu kalau lu mungkin lagi sedih atau apa, tapi please, Sha ... sedih-sedih aja, jangan tolol!" ia berhenti sebentar, "Masih bagus lu lagi sama bos lu, yang nggak bakalan ngapa-ngapain lu!"
Ia makin jengkel waktu melihat gue nggak bergeming dengan omelannya. Masih menatapnya lancang dengan ekspresi datar yang sama.
"Lapet!" Pakdhe mengalihkan pandangannya balik ke arah jalan, mengumpat pelan dengan suara kesal yang ditahan. Entah dia mengumpat ke gue atau dirinya sendiri. Ia menghela nafas panjang sekali lagi sambil tetap fokus menyetir. Tangan satunya tampak menyalakan tombol musik di dashboard mobil.
Suara musik mulai mengalun ketika pria itu melajukan mobilnya menyusuri jalan besar Sudirman. Gue menatap lurus ke kaca depan, sesekali disela oleh wiper mobil yang bergerak pelan menyeka tetesan hujan. Head unit mobil memutarkan lagu Gnash - I hate you, I love you. Pakdhe yang tahu itu lagu sedih, langsung mengarahkan tangannya ke arah head unit, bermaksud mau mengganti lagu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...