22 - Confession

3.8K 366 9
                                    

Writer's Note: Haloo, makasih banyak yaa udah bacaaa ... hari ini rekor update 4 bab ya, hahaha. Maaf banget ini updatenya seminggu sekali. Makanya mumpung aku masih sempat, mari kita gasken subtema pertengkaran Pakdhe dan Tasha ini.

Aku sendiri sebenernya belum tahu juga ending cerita ini bakal gimana, tapi, let's enjoy the process together! Semoga menghibur! Semangat Senin!

***

"Kok gue kesel ya akhir-akhir ini?"

Eve, yang sedang mengunyah kebab di sebelah gue, mengerutkan alisnya. Sementara gue siang itu sedang duduk di meja kerja, dengan kepala yang diletakkan di atas meja. Lemes dan kehilangan hawa hidup. Kayak napi habis divonis hukuman mati.

Itu jam makan siang, tapi gue nggak lapar sama sekali. Padahal habis maksi nanti gue ada meeting sama Mas Danang. Tapi gimana, namanya nggak laper, dipaksa makan nggak bisa juga lambung gue. Males gerak kata dia.

"Kenapa lagi?" tanyanya dengan santai. "Kon lho, akhir-akhir ini cemberut terus. Terakhir kon kayak gini itu waktu kon habis ngejar-ngejar Pakdhe habis training seminggu yang lalu, nggak jelas banget."

"Berisik, ah." gue menenggelamkan kepala ke lekukan tangan. Mengabaikan suara cempreng Eve.

"Kon kenapa sih? Kon lho, sekarang berada dekat dengan impianmu. Setiap hari ketemu Mas Danang. Kurang bahagia apa kon itu?"

"Gatau. Lagi capek aja."

Eve diam sejenak. "Kon, kangen ya sama Pakdhe?"

Gue diem. Gue nggak bilang 'najis' kayak biasanya. Kenyataannya memang gue sedikit kangen. Nggak sedikit sih, banyak. Gue capek denial terus, gue memang kangen sama tingkah-tingkah absurdnya, yang ngeselin tapi menghibur. Gue juga kangen sama ledekannya yang selalu out-of-the-box. Udah seminggu ini, kita nggak pernah ketemu lagi. Ya, selain mengingat memang tempat duduk gue dan ruangan dia jauhnya bagai langit dan bumi, entah kenapa takdir juga berhenti mengkhianati gue. Dulu gue suka merutuki takdir karena gue selalu papasan sama dia, sekarang nggak pernah lagi itu terjadi.

Dan siang ini gue memang agak kesal. Pasalnya, waktu gue turun kebawah gedung, gue melihat Pakdhe dan Kanaya sedang jalan berdua sambil menenteng gelas Starbucks. Mereka lagi ngobrol dan ketawa bareng.

Nggak salah sih, cuma entah kenapa gue kesel aja lihatnya. Kok Pakdhe baik banget sama Kanaya? Kayaknya mana pernah dia baik begitu ke gue, sampai ketawa bareng. Yang ada juga gue dijailin mulu sama dia.

Apa dia udah mulai terjerat pesona Kanaya? Masa iya sih, gue cemburu. Gue kan naksirnya bukan dia.

Gue menghela nafas. Tasha, Tasha. Ini lu namanya menyia-nyiakan kesempatan dari Tuhan. Lu udah dikasih waktu lebih buat mengejar cinta sejati lu, lu malah mikirin si om-om mesum terus. 

Bener juga. Harusnya gue lebih memanfaatkan waktu buat mengejar Mas Danang, kenapa gue malah mikirin dia? Hubungan gue sama Mas Danang bahkan stuck, nggak ada perubahan. Masih sebatas bos sama bawahan. Kayaknya gue bakal diketawain Pakdhe kalau dia tahu gue nggak maju-maju sama Mas Danang.

Gue bangkit dan berjalan menuju ruangan Mas Danang, berniat mau menawarinya beli Starbucks. Tiba-tiba, gue jadi pengen Javachip Frappucino, gara-gara lihat Pakdhe beliin Kanaya.

"Sha."

Gue menoleh, belum sempat gue sampai ke ruangannya, Mas Danang memanggil gue dari belakang. Ia tersenyum sumringah menghampiri gue. Di tangannya, ada dua gelas Starbucks, green tea latte, dan ...

... javachip frappucino, yang diulurkannya ke gue.

"Ini, dari Mas Tion."

Gue terdiam sejenak. Dari Pakdhe? Maksudnya? Dia bukannya cuma beliin Kanaya?

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang