27 - Nasihat Karir dari Bapak-Bapak

3.6K 311 1
                                    

Gue sempat berpikir. Kisah gue ini, kalau dijadiin novel, seharusnya masuk kategori mature, tahu. Iya, mature, dewasa, 18+, bahkan seharusnya 21+.

Soalnya memang isinya kisah gue menjalani kehidupan sebagai orang dewasa beneran. Literally dewasa, bukan soal ena-ena. Hidup orang dewasa itu tak seindah itu. Mungkin sebagian orang dewasa happy, karena udah menikah sama orang yang dicintai dan hidup bahagia. Sebagian lainnya mungkin kayak gue. Hidup jomblo, naksir orang tapi orangnya mikir lo naksir orang lain, kerja sampe mampus buat bayar kosan dan paylater, dan kerja dibawah bos yang kadang jalan otaknya nggak masuk akal.

"Lu mau kerja disini sampai kapan, Sha?"

Gue mendongak. Mas Danang tampak tersenyum manis. Ah, pagi ini bener-bener pagi yang indah. Gue berdua aja sama Mas Danang, di ruangannya, pintu tertutup. Mas Danang tampak ganteng dengan kemeja garis-garis ungunya. Ngajarin gue dengan penuh kesabaran dan full senyum. Sementara gue bekerja dengan semangat, di hadapan orang yang gue taksir.

Ah, iya. Hidup memang harusnya kayak gini setiap hari.

"Sha, kok malah bengong." Mas Danang tertawa sambil melambaikan tangan di muka gue. "Masih ngantuk ya? Semalam lembur sampai jam berapa?"

Gue kaget. Sambil malu setengah mati. Ya ampun, lagi-lagi gue melamun sambil melototin muka ganteng Mas Danang. Coba kalo gue beneran nikah sama dia, bisa dikira kesurupan gue karena bengongin muka dia melulu.

Nikah? Sama Mas Danang?? Awww, Tasha, lu udah gilaa!!!

Gue tersipu sendiri memikirkan kata itu. Sekarang gue kayak orang tolol. Udah bengong, tiba-tiba mukanya merah, lalu geleng-geleng sambil pegangin pipi. Ekspresi Mas Danang, sudah pasti terlihat bingung. Kalau itu Pakdhe mungkin gue udah digeplak pakai tumpukan kertas di mejanya, atau dipanggilin ustadz buat rukiyah.

"Kayaknya kamu sakit deh, Sha." Mas Danang terlihat khawatir. "Muka kamu merah banget. Mendingan sekarang kamu istirahat ya. Nanti kita sambung lagi."

"Oh, nggak. Nggak kok, Mas. Saya sehat banget." gue mengangkat tangan gue membentuk siku-siku, seolah menunjukkan kalau gue punya biceps. "Semangat banget saya pagi ini."

"Dih, lagi ngapain sih lu?"

Anak babi, anak babi. Lagi-lagi suara berat itu tiba-tiba ada di belakang gue. Mekanisme badan gue terhenti dalam posisi tangan gue masih siku-siku, udah kayak binaragawan aja gue. Gue rasanya mau usul deh ke Mas Danang, bisa nggak sih, kursi tamunya jangan dibuat membelakangi pintu? Supaya kalau ada orang ini keliatan mau masuk, bisa gue tendang duluan.

Pakdhe berjalan mendekat, lalu berdiri di sebelah gue yang perlahan menurunkan tangan. Ia terkekeh mengejek. "Ngapain sih pagi-pagi, jadi Ade Ray? Habis mabok lu, ya? Aneh bener jadi anak."

Kalau Mas Danang nggak langsung mengajak Pakdhe ngobrol, kayaknya gue udah berakhir disidang HRD, karena semenit yang lalu gue berniat menonjok muka bos gue.

"Ada apa, Mas? Tumben pagi-pagi udah mampir."

"Nggak, gue cuma mau ngasih tahu. Gue sebenernya oke-oke aja rencana staffing tahun ini yang semalam lu kasih itu." ia menyodorkan secarik kertas yang daritadi dipegangnya. "Cuma ini sih, kalau buat jangka panjang, intern atau staff jangan semuanya minjem dari tim lain."

"Kenapa Mas? Toh kita lagi nggak terlalu perlu staff, jadi nggak apa-apa kan sharing sama tim lain?"

"Iya, gue tahu. Tapi kalau anak-anak kita suatu saat naik manajer, mereka harus punya penerus dong." ia melirik gue, "Emangnya lu tega, suatu saat si Tasha naik manajer, staff dan seniornya mesti minjem dari tim lain?"

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang