Gue bangun di hari minggu pagi dengan perasaan kesel setengah mati.
Setelah sekian lama, akhirnya ini pertama kalinya gue mimpiin bos gue. Kalau lu pikir mimpinya romantis yang bikin gue dagdigdug, bentar dulu. Gue juga tadinya mikir gitu, karena dulu gue pernah beberapa kali mimpiin Mas Danang dengan adegan romantis. Kencan lah, makan berdua lah, disenyumin lah. Bangun-bangun badan gue langsung seger karena bisa pacaran sama Mas Danang di dalem mimpi.
Sialnya, peran Pakdhe di dalem mimpi nggak sebagus adek tingkatnya. Dia tetep nyebelin, soalnya gue mimpi dia lagi ngawasin gue kerja, mana lembur pula kerjanya. Jadi bangun tidur, gue tetep capek karena di dalem mimpi pun gue lembur sampe pagi sama dia. Dan yang paling ngeselin, kerjaan yang gue lemburin di dunia mimpi ga bisa ditransfer ke dunia nyata.
Makanya kesel banget gue bangun-bangun. Mana makin kesel lagi waktu ngeliat notifikasi handphone, ada panggilan berdering dari yang bersangkutan. Deringan telepon Pakdhe juga yang bikin rencana bangun siang hari minggu gue gagal. Gue mengangkat telepon itu dengan kesel yang masih di ubun-ubun.
"Kenapa Mas?"
Pakdhe terdiam sebentar, mungkin pria itu kaget karena suara gue sejutek itu pas angkat telepon. "Hei, kenapa lu? Pagi-pagi udah bete."
"Mas nyebelin soalnya."
"Hah? Nyebelin gimana? Orang gue belom ngomong apa-apa."
Shit. Gue lupa kalau Pakdhe ngajak lembur gue cuma di mimpi, Pakdhe dunia nyata pasti bingung kalau gue bilang dia nyebelin.
"Yah, yaudah lah. Gue napas doang juga tetep nyebelin di mata lu." Pakdhe menghela nafas. "Anyway, lu nggak lupa kan jam 10 ini kita ada call diskusi sama Eve? Bahas temuan yang kemarin di coffeeshop."
Mata gue langsung melebar. Gue melirik jam yang ada di handphone, jam 9.30! Pantesan aja Pakdhe nelponin gue daritadi! Gue langsung meloncat dari tempat tidur dan buru-buru membuka laptop, karena gue nanti yang share screen bahan diskusinya. Tasha! Parah banget lu, Sha! Kok bisa sih lu lupa sama hal-hal penting kayak gini!
"B-bentar ya, Mas." gue menjawab dengan panik, sambil mengumpulkan nyawa yang masih separoh-separoh. Samar-samar gue coba membuka lagi bahan yang mau kita diskusiin hari ini, mengingat-ingat apa aja pesen dia kemarin di coffeeshop. Emang kita udah sering ketemu, cuma kalau buat urusan kerjaan gue masih setakut itu sama Pakdhe. Cowok itu serem banget kalau mode senior manajernya lagi on fire.
"Sha," Pakdhe terdengar menghela nafas, "Sebenernya gue telepon lu mau minta cancel diskusi hari ini. Bisa nggak diundur jadi besok aja?"
Gue mematung sesaat. Menghentikan semua gerakan panik gue tadi.
Apa tadi katanya? Cancel?
"Sorry mendadak. Si Gaput tiba-tiba dateng ke Jakarta, jadi kayaknya gue harus jemput dia."
Gue mengerutkan alis. "Hah? Golput?"
"GAPUT." Pakdhe meninggikan suaranya. "Sori-sori, maksudnya keponakan gue, dia baru dateng habis liburan di luar kota. Namanya Gadis Putri Cantika. Dia nggak mau dipanggil Gadis, jadi gue panggil Gaput."
"Oooh ..." gue ber-ooh ria. Gue inget, dia beberapa kali cerita kalau dia punya keponakan yang umurnya mirip sama gue. Mungkin si Gaput itu yang dia maksud.
"Jadi gimana? Ada masalah nggak kalau diundur? Gue sih udah izin sama Eve, Eve nggak masalah kalau diundur jadi Senin."
"O-oh, nggak kok, Mas." gue malah bersorak dalam hati, "Nggak urgent harus hari ini juga, kok."
"Sip." suara Pakdhe terdengar sumringah sebelum akhirnya menutup telepon. "Makasih ya, Natasha. Bye."
Gue agak deg-degan waktu mendengar Pakdhe memanggil gue dengan nama lengkap. Biasanya pria itu jarang banget manggil gue 'Natasha', cuma 'Tasha' atau 'Sha' aja. Nggak tahu kenapa, rasanya beda aja kalau dipanggil begitu sama dia. Aneh banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...