"Sha, lu aja deh yang ke Pak Damar. Minta dia approve di sistemnya ya."
Gue yang sedang menyuap bubur ayam ke mulut, berhenti sejenak. Pakdhe masih terpaku memandang laptopnya dengan ekspresi yang aneh. Pagi itu kami berdua masih stay di ruangan Pakdhe, dengan bubur ayam yang dibeli subuh tadi di kantin gedung. Gue juga sebenernya agak penasaran, dari subuh tadi, Pakdhe udah serius menatap laptopnya sampai dia nggak mau menyentuh bubur ayam yang gue beliin.
Dan penasarannya lagi, setelah sekian lama, baru kali ini Pakdhe nyuruh gue kontak sama Pak Damar. Gue tahu, kalian juga mungkin ngeh ada tokoh bernama Pak Damar di kantor kami. Dia itu salah satu partner (atau setara direksi), yang kebetulan atasan tim Pakdhe, Mas Danang, dan Mas Andri. Rumornya sih dia galak, ya. Tapi segalak apa, gue, Eve, dan bahkan Aldo nggak pernah tahu.
Ini kenapa pagi-pagi gue disuruh ke kandang macan?
"Nggak mau Mas aja? Kan biasanya Mas Tion." gue berkelit. Mencoba mencari celah buat nggak setor nyawa kesana.
"Belajar, Sha. Biar lu kenalan sama dia." sahutnya sambil mengangkat alisnya dengan ekspresi lucu, tanpa mengalihkan pandangan dari laptop. "Biar lu shining, shimmering, splendid, Sha. Biar lu berkilau di mata dia, 'wah, senior siapa nih?', gitu lho."
Gue memicingkan mata. Asal lu semua tahu, orang ini nggak pernah beres kalau udah main rayu-rayuan. Terakhir kali gue termakan omongan manisnya adalah waktu gue disuruh diskusi pertama kali sama Pak Ah Meng. Kata dia, Pak Ah Meng baik banget kalau sama cewek. Lu bisa tebak, gue berakhir keluar dari ruangannya sambil nangis karena dia ngamuk sama gue sampai banting-banting barang. Emang setan bos gue.
"Takut." gue mencicit pelan.
Pakdhe beralih menatap gue, "Pak Damar baik kok orangnya. Nanti gue beliin es krim, deh. Mau ya."
Gue menggeleng.
"Natasha."
Masih menggeleng.
"Natasha Andriana!" ia tiba-tiba menaikkan suaranya, membuat gue terloncat kaget. "Gue senior manajer lu, Sha! Pergi sekarang atau gue tabok lu pake sepatu!!"
Gue reflek ngibrit keluar dari ruangannya. Meskipun Pakdhe suka konyol, tapi tetep aja ketika dia marah reflek semua orang adalah kabur, sebelum dikunyah-kunyah sama dia.
***
Gue mengetuk pintu ruangan Pak Damar dengan pelan dan penuh perasaan, sambil berdoa dalam hati. Doa apa aja gue baca. Doa usir setan, doa ziarah, doa makan, yang mana aja. Gue memang belum pernah berhubungan sama big boss satu ini, tapi kalau denger cerita-ceritanya, sebenernya seumur hidup gue nggak berniat masuk ke ruangannya.
"Masuk." suara bariton dari dalam ruangan menyahut. Saat ini gue deg-degan. Parah. Apakah ini cinta? Sepertinya bukan.
Pintu gue buka dengan tangan gemetar. Ruangan Pak Damar lebar, jauh lebih lebar daripada ruangan Pakdhe, dan jauh lebih rapi. Nggak ada tumpukan report yang mirip runtuhan tanah longsor kayak di ruangan Pakdhe. Di dalamnya ada dua meja, satu meja kecil di depan pintu dengan beberapa kursi kosong, kayaknya buat kalau ada tim yang mau diskusi; dan satu meja panjang dari kayu yang dipakai Pak Damar buat kerja.
Sesosok pria gemuk tampak sedang serius menatap laptop, membelakangi gue. Gue nggak tahu kenapa laptopnya dia taruh dengan layar menghadap ke arah orang datang. Jadi dia harus nengok dulu ke samping buat tahu siapa yang datang.
Bener aja, sedetik kemudian Pak Damar menoleh. Baru kali ini gue lihat mukanya dari dekat. Dia bapak-bapak yang usianya mungkin 50 sampai 60 tahunan, dengan badan yang tinggi dan agak berisi. Rambut putihnya agak botak, memperlihatkan jenongnya yang lebar, gue bisa ngeliat pantulan lampu disana. Mukanya agak bulat dan kelihatan kalem, khas orang jawa tengah, tanpa kumis dan tanpa janggut, sedikit kiyowo. Ia tampak rapi dengan setelan kemeja biru muda lengan panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...