77 - Slow Motion Heartache

3K 450 26
                                    

Gue bingung.

Bingung, kosong banget kepala gue. Jauh lebih kosong daripada pas liat Mas Danang ciuman.

Lima menit berlalu dengan kami berdua yang berdiri berhadapan, saling diam. Gue inget Pakdhe menarik lengan gue waktu tangisan gue makin kenceng di ruangannya. Diseret gue sampai ke parkiran. Untungnya masih pagi, jadi nggak banyak orang yang liat adegan memalukan kami berdua tadi.

Dan sudah barang tentu, Pakdhe kayaknya bakal skip meeting jam sepuluhnya.

Beberapa mobil sesekali lewat di jalur samping kami, mulai banyak yang berlalu lalang masuk parkiran. Pakdhe masih memandang gue yang sesenggukan dengan tatapan sedihnya. Tatapan bersalah yang seumur hidup baru gue lihat dari sepasang mata elang seorang Jatmiko Nasution.

"Sha, ini demi kebaikan lu." ia berkata lirih. "Lu better cari orang lain. Jangan suka sama gue."

"Kenapa? Mas nggak suka sama saya?"

Ia menggeleng. "Lu nggak perlu ngerti."

"Mas suka sama orang lain?"

"Pokoknya gue nggak bisa, Tasha. Lu nggak akan ngerti."

"SAYA BERHAK NGERTI!"

Dia dan gue sama-sama kaget, sama-sama nggak ada yang nyangka gue bisa teriak sekeras itu. Untungnya, kami di parkiran mobil, dan suasananya bener-bener sepi waktu itu. Gue menutup mulut dengan kedua tangan. Mata gue makin blur. Sedetik kemudian, airmata gue mulai deras lagi tanpa aba-aba dengan sesenggukan yang keluar begitu aja.

"See." Pakdhe menghela nafas panjang. "Belum apa-apa aja gue udah bikin lu nangis. Lu berhak dapet orang yang lebih baik buat jagain lu, Sha. Gue udah terlalu tua dan terlalu brengsek buat lu."

Gue nggak menyangka bakal denger alasan klasik itu dari mulutnya. Mata gue berkilat menatapnya dengan marah. "Kalau Mas emang nggak mau sama saya, kenapa selama ini Mas bikin saya berharap?!"

Ups. Keceplosan.

Mata pria itu melebar, ia memandang gue dengan ekspresi yang susah dijelasin. "Sha, ... "

Ia berhenti sejenak dengan bibir yang sedikit terbuka. Alisnya mengerut, ia kelihatan ragu dan menutup lagi bibirnya. Entah apa yang ada di pikirannya sampai dia nggak jadi melanjutkan kata-katanya.

Tiba-tiba sedetik kemudian ekspresi dan suaranya langsung berubah tegas. "Gue nggak bermaksud, Sha. Gue nggak ada niat buat bikin lu berharap. Kalau lu selama ini jadi berharap gara-gara perlakuan gue, gue minta maaf."

Alis gue mengernyit. "Hah?"

Apa tadi katanya? Dia bilang dia nggak bermaksud bikin gue berharap?

Gue ini nggak salah denger kan?

Terus selama ini perlakuannya ke gue itu apa? Dia yang bela-belain nemenin gue waktu gue patah hati. Dia ngajak gue ke pasar malem dan makan di pinggir jalan berdua. Dia yang suka ngerayu-rayu gue sampai gue salah tingkah. Dia sampai beliin gue boneka penguin, dan membuat gue berpikir kalau boneka gurita yang dibawanya itu Pakdhe anggap sebagai gue.

Bukannya dia juga yang selalu keluarin kata-kata manis? Bilang gue lucu, bilang gue kayak pikachu, ngelus-elus kepala gue, gendong gue, sampai ngerangkul-rangkul gue.

Itu semua bukan apa-apa buat dia? Jadi dia mau bilang, gue doang yang selama ini kege-eran?

"Gimana sih konsepnya, Mas? Saya nggak ngerti." daripada sedih, suara gue sekarang lebih kedengeran marah. "Mas nggak ngerti kalau selama ini saya berharap sama Mas? Seriously? Dengan semua perlakuan manis Mas ke saya, dan Mas beneran nggak mikir sama sekali kalau saya bakal jatuh cinta?"

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang