50 - Nasib Orang Gampang Salting

2.8K 324 14
                                    

Semenjak kejadian-kejadian kemarin, yang banyak physical touch sama Bapak itu, gue nyadar banget. Pribadi gue yang mudah salting ini jadi tambah parah tololnya kalau di deket Pakdhe. Lagipula, gue agak kesel juga sama orang itu, ini entah beneran atau cuma perasaan gue doang. Dia kayaknya tahu, gue kalau salting jadi tolol, jadilah dia makin menjadi-jadi ngeledekin gue.

Hari ini, gue, Pakdhe, dan Mas Andri disewain hotel berbintang sama salah satu klien. Sebentar sih, semalam dua hari aja. Masih di daerah Jakarta juga, tapi udah mendekati Bekasi. Kata Pakdhe, klien yang ini biasa adain satu pertemuan besar  semua anak perusahaannya di hotel, dalam rangka finalisasi laporan keuangan dan rekonsiliasi satu grup. Emang klien kalau duitnya banyak mah bebas, mau nyewa satu hotel, mau nyewa satu ballroom, mau nyewa satu hotel, yang penting senang.

Gue saat itu niatnya mau nyamperin Pakdhe buat makan malam, waktu gue mendengar sayup-sayup suara nyanyian dari dalam kamar. Jelas bukan Mas Andri, karena Mas Andri masih ngobrol sama klien di bawah. Dan lagi, suara berat dan serak yang khas itu cuma satu orang yang punya.

Tangan gue yang mau ngetok pintu langsung berhenti sejenak mendengarkan lagu Titanium dari balik pintu, tapi berasa versi suara bass-baritone Benedict Cumberbatch. Gue nggak se-ngefans itu sama lagunya, tapi gue tahu lagunya susah. Pas sampai bagian susah, gue menahan nafas dan mendengarkan baik-baik. Lu juga pasti gitu kan, kalau ada orang nyanyi lagu yang susah, lu pasti nebak-nebak sendiri, fals nggak nih di bagian ini.

I'm bulletproof, nothing to lose.

Fire away, fire away.

Ricochet, you take your aim.

Fire away, fire away.

Shoot me down, but i won't fall,

I am titanium.

Shoot me down, but i won't fall,

I am titanium ...

"WAH!" reflek gue bertepuk tangan waktu bagian itu selesai.

Pakdhe melewati bagian itu tanpa fals sedikitpun. Gue nggak ngerti teori orang nyanyi, tapi dengan suara bass Pakdhe, dia bisa mencapai nada yang lumayan tinggi. Gue standing applause sendirian dari luar pintu kamar, berasa gue juri Got Talent cabang Bekasi. Suara Pakdhe ternyata sebagus itu.

Emang ada ternyata bakat terpendam yang tidak seharusnya dipendam!

Kalau suaranya sebagus itu, kenapa dia nggak pernah pamerin di kantor, ya? Kan di kantor juga ada tuh event-event nyanyi, dan juga ada lho klub paduan suaranya. Masa iya dia malu pamerin suaranya?

"Tasha?"

Gue mematung ketika mendengar panggilan dari balik pintu, sambil menelan ludah dengan kasar.

Lah iya, kenapa gue pake tepok tangan segala, ya? Lagian emang suara gue sekeras itu, sampai kedengeran dari dalem sana?!

"Natasha?" suara itu kedengeran lagi, parahnya, semakin dekat ke arah pintu. "Lu di depan?"

Gue yakin ia sedang mengintip gue dari lubang kecil yang ada di pintu. "I-iya, Mas."

Sedetik kemudian, pintu terbuka. Gue agak kaget. Nggak 'agak' deh, sangat kaget, karena Pakdhe muncul dari balik pintu dengan tampilan yang sama sekali nggak gue duga.

Laki-laki itu berdiri memegangi gagang pintu hanya dengan celana kolor putih panjang dan kaus singlet hitam yang agak ketat. Lebih dari cukup buat mempertontonkan cetakan badannya. Gue mungkin udah pernah cerita, tapi gue jelasin lagi. Pakdhe itu sehari-harinya kelihatan kurus karena tinggi dan bajunya yang biasanya kedodoran. Tapi kalau tampilannya lagi begini, sebenernya sixpack tipis-tipis di tubuh bidangnya kelihatan sedikit terbentuk, meskipun gue belum pernah lihat dia full topless. Ditambah lagi, kalau lagi pakai singlet begini, jelas juga ia memamerkan otot biceps dan triceps yang kelihatan samar-samar di lengannya.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang