23 - Namanya Juga Pakdhe

3.8K 352 15
                                    


Suasana hening. Bener-bener hening, cuma ada suara sesenggukan gue dan sesekali suara mobil yang lewat. Gue masih berusaha menyeka airmata yang terus keluar, tapi sepertinya percuma. Malah semakin lama semakin deras. Gue udah nggak peduli kalau dia kege-eran gara-gara gue bilang kangen sama dia. Memang itu faktanya.

"Sha." ia buka suara. "Gue boleh jujur nggak?"

***

Gue memberanikan diri mendongak. Ia menatap gue dengan ...

... ekspresi sok bingung yang nyebelin.

"Sebenernya gue nggak ngerti lu ngomong apa."

Seketika produksi airmata gue berhenti. Kayaknya airmata gue juga kaget mendengar kata-kata Pakdhe barusan.

Gimana maksudnya?

"Kenapa lu berpikir gue nggak mau deket-deket lu, sih?" ia tampak menggaruk kepalanya.

Gue cengo secengo-cengonya. Ini gue, atau dia yang tolol? "Bukannya Mas Tion menjauh gara-gara ... yang saya bilang di Bandung? Waktu kita di kebun bunga?"

Ia berpikir sebentar. "Yaa ... gue inget. Gue memang berniat jaga jarak dari lu waktu di Bandung, gue tahu lu butuh space buat pedekate sama Danang." ia berhenti sebentar, "Tapi kalau di kantor, sejujurnya gue nggak seserius itu nanggepin kata-kata lu, sih. Kan gimana-gimana gue  yang bos lu. Kenapa gue yang mesti nurutin lu?"

Gue tambah cengo. Kayaknya mulut melongo gue semakin lebar. "Bukannya tiga minggu terakhir ini Mas Tion menghindar dari saya?"

Ia mengernyitkan alis. "Masa sih? Nggak juga, ah."

"Klien-klien Mas Tion yang sama saya kan dipindah semua ke Mas Danang sama Mas Andri, itu kenapa kalau bukan Mas Tion mau menjauh?"

Alis tebalnya terangkat sedikit, "Ooh ... itu mah karena mereka kekurangan klien. Gue lagi proses penerimaan klien baru, satu grup gede, itu nanti buat lu juga. Jadi yang gue punya, gue kasih aja separuh ke mereka. Lagian ya, bukan cuma klien lu doang kali. Klien si Aldo sama Eve juga sebagian gue bagi-bagi ke manajer baru."

Gue masih belum puas, "Trus, tiga minggu kemarin, Mas Tion kayaknya juga sama sekali nggak ngobrol sama saya kayak biasanya. Itu kemana?"

"Lu pikir ngurusin penerimaan klien baru nggak sibuk? Stress gua, Maemunah! Lagian, itu kliennya si Andri sama Kanaya juga resek, lumayan menyita banget waktu gue pas mau rilis. Lu nggak nyadar itu tiga minggu gue lembur-lembur terus?!" ia menunjuk gelas Starbucks di tangan gue, "Itu gue traktir juga karena syukuran dapet klien baru, selain karena kliennya Andri sama Kanaya udah rilis."

Gue makin kesal, "Trus, waktu training, kenapa tiba-tiba nanya Eve soal hubungan asmara?"

Ia diam sebentar. "Sebenernya waktu itu gue mau nanya ke lu,"

"Trus?"

"Tapi muka lu jutek banget. Jadi mendingan Eve aja yang jawab."

Komplit sudah rasa malu gue. Panas banget muka gue, bahkan mungkin ubun-ubun gue udah beruap. Kesal, marah, malu, campur jadi satu. Jadi sebenernya, selama tiga minggu ini, gue yang merasa kehilangan sendirian. Gue selama ini yang kege-eran, mikir kalau menghilangnya Pakdhe adalah gara-gara perintah gue waktu di Bandung. Gue selama ini sedih sendirian, mikir kalau Pakdhe bener-bener bakal pergi dari hidup gue. Gue sampai mengakui juga kalau gue kangen sama dia. Ternyata, dia malah nggak terlalu mikirin hal itu.

"DASAR BRENGSEEEEEEKKK!!!"

Pakdhe terlihat sangat kaget mendengar gue yang tiba-tiba berteriak, kata makian pula. Ia mengelus dadanya, kayaknya mencoba menenangkan jantungnya yang hampir copot.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang