"Lu sebenernya jadi nggak sih ngejarin si Danang?"
Gue tersedak minuman bersoda yang sedetik lalu baru aja menyentuh tenggorokan, lalu merintih karena kesakitan. Lu pernah nggak sih, kesedak coca-cola? Ternyata sakit banget di hidung!
"Dih, kenapa lu batuk-batuk? Covid?" Pakdhe adalah tipe orang yang nyebelin kalau dijadiin temen, karena dia malah ketawa. Nggak kepikiran buat nolongin gue. Untung dia bos gue, bukan temen gue.
Mata gue cuma menyipit kesal memandangi cowok itu yang santai aja, lanjut memakan nasi padangnya. Sementara gue masih berusaha bernafas normal setelah pelan-pelan soda-soda itu hilang dari saluran hidung. Kok bisa ya, ada orang kayak dia. Ambilin minum kek, apa kek, nggak kepikiran di otaknya. Dia lebih tertarik mikirin rasa rendang dan dendeng yang dia makan udah pas atau belum.
Sabar banget manusia yang jadi pasangannya, kalau dia punya.
"Kenapa tiba-tiba nanya, sih!" gue bertanya dengan agak gusar.
Ia mengerutkan alis, "Lah, kok sewot? Orang nanya doang, nggak boleh? Sombong amat. Marah-marah melulu, pantes cepet tua."
Namaste. Gue menghela nafas panjang. Sha, tahan, Sha. Lu percuma berantem sama orang yang isi otaknya nggak bisa lu tebak. Dua hari ini aja, lu ada kali setiap jam berantem sama Pakdhe di ruangan klien ini. Kayaknya plotting tim Pakdhe buat project kali ini gagal, deh. Harusnya gue sama dia nggak boleh satu tim berdua doang. Pakdhe itu gatel banget kayaknya kalau satu jam nggak rese ke orang, makanya kalau kita berdua doang nggak kelar-kelar, karena jadi Tom and Jerry melulu.
Gue bertanya lagi, dengan nada yang lebih normal. "Kenapa, Mas Tion? Kok tiba-tiba nanya?"
"Gitu dong, nanya bae-bae lu." gumamnya. "Ya gue nanya, abisnya gue udah bantuin lu deket sama si Danang, gue lihat juga nggak ada perkembangan."
Gue diem. Nggak salah, sih. Kalau dipikir-pikir, iya emang gue nggak ada perkembangan sama Mas Danang. Bahkan kalau berdua di klien, interaksi gue sama dia nggak sesering berantemnya gue sama Pakdhe. Bukan gue udah nggak ada rasa, gue masih terpesona setiap ngeliat Mas Danang dengan wajah charming-nya di deket gue. Tapi entah kenapa ya, nggak se-menggebu-gebu dulu. Gue juga nggak ngerti. Masa sih, gue udah capek ngejar dia?
Lagian kenapa ini bemper mobil satu, peduli banget sama gue?
"Ada kok." gue berbohong. "Kita jadi sering makan bareng."
Mata Pakdhe membulat lucu. "Kita juga. Kan ini makan bareng. Lauknya juga sama."
Iya, lagi. "Emm ... tapi saya sama Mas Danang juga lebih sering ngobrol sekarang."
"Gitu? Emangnya lebih sering dari lu dimarahin gue?"
Diem lu, setan. Bener lagi. Masih seringan lu marahin gue. "Lagian kenapa sih Mas Tion nanya-nanya itu? Emang Mas Tion mau ngurusin?"
Pria itu cuma mengangkat bahu, sambil tangannya fokus menyobek daging dendeng yang agak kebesaran. "Lu mau gue kasih tahu sesuatu? Soal Danang."
"Hah? Apa tuh?"
Pakdhe nggak menjawab, ia cuma mengulurkan tangannya, dengan telapak tangan menghadap ke atas.
Lu semua jangan kaget. Gue belum cerita ya? Bos gue ini emang suka kocak, segala sesuatunya transaksional macam Pak Ogah. Gue nggak tahu apakah dia begini ke semua orang, atau ke gue doang. Tapi kadang-kadang gue harus bayar sesuatu kalau mau minta tolong dia di luar kerjaan. Nggak harus uang, tapi harus ada sogokan yang gue kasih. Untung dia nggak nyalon anggota dewan.
Gue menggeser sedikit kursi gue ke dekat kursinya, lalu memindahkan separuh daging rendang dari bungkusan nasi padang gue ke tempatnya. "Tuh."
"Idih! Apa-apaan nih begini doang?!"
Gue melotot, "Sekarang nggak menerima payment rendang?"
Ia menggeleng, membentuk angka satu dengan tangan kirinya. "Masa setengah potong doang. Inflasi keles."
Dasar pria bedebah! Dengan kesal gue menyendokkan sisa separuh rendang gue ke bungkusannya, yang langsung disambut dengan cengiran lebar. Ya ampun Mas Danang, lihat pengorbanan gue, demi lu gue rela makan nasi padang tanpa rendang. Cuma pake telor sama perkedel. Makan noh semua rendang gue!
"Cepetan!" gue menagih dengan nada ketus. "Awas aja kalau nggak penting, refund itu rendang!"
Ia terkekeh dengan nada meledek, sambil menggigit rendang dari gue. "Pasang kuping lu baek-baek. Dua hari lagi Danang ulang tahun."
Gue reflek bangkit dan mencondongkan badan ke arah Pakdhe. Saking terbatasnya informasi Mas Danang di internet, gue beneran nggak tahu apa-apa soal Mas Danang, termasuk tanggal lahirnya. "SUMPAH?! Real nggak nih?!"
"Gue punya foto KTPnya, mau lu? Mahal tapi."
Kenapa Pakdhe jadi kayak admin lambe turah begini, ya? Mana dijual-jualin lagi informasi orang. Kacau, kacau. Tapi terusin aja, gue suka yang begini.
"Nggak usah, ntar aja. Tapi beneran itu dua hari lagi? Duh, kado apa ya? Nggak ada ideee!!" gue menggumam resah sambil mengacak-acak rambut. Sedetik kemudian baru inget kalau gue belum cuci tangan habis megang dendeng. Yah, tapi yaudah lah, sekarang lebih urgent urusan cari kado buat Mas Danang!
Bentar ...
Gue memandang lekat-lekat sosok pria yang masih asyik menyantap pembayaran dari gue. Pakdhe yang jengah karena merasa gue pelototin, memicingkan matanya dengan ekspresi jijik. Tunggu-tunggu. Dia ini sama-sama cowok, umurnya nggak beda jauh, pekerjaannya juga sama, lingkungannya sama. Bener juga, kenapa nggak nanya aja manusia di depan gue?!
"Mas Tion kalau ulangtahun, pengen kado apa dari saya?"
Giliran dia yang tersedak. Buru-buru diambilnya gelas minum yang ada di sebelah sambil batuk-batuk. Mampus, karma, kata gue dalam hati. "Kenapa jadi gue?"
"Buat inspirasi. Kan pasti selera kalian nggak beda jauh."
Pakdhe memandang gue sejenak, sambil meredakan batuk-batuk bekas tersedaknya. Ia tampak berpikir sejenak, menempelkan tangan di dagunya sambil tangan yang lain dilipat di dada. Ah, lu ganteng kalau lagi diem begini, Mas. Coba lu diem terus, makin banyak yang kepincut sama lu!
Sedetik kemudian ia melirik ke arah bungkusan nasi padang gue. "Perkedel dulu boleh kali."
Ah, dasar laki-laki biadab!
***
Gue membuka dengan semangat bungkusan plastik supermarket hasil belanja gue tadi di dapur. Mengeluarkan sambil menimang satu persatu isinya dengan muka sumringah, membayangkan Mas Danang bakalan suka dengan kado gue kali ini. Sambil mengeluarkan isinya, sesekali gue melihat lagi resep dari internet yang udah gue capture, memastikan nggak ada bahan yang kelupaan gue beli.
Nyokap gue yang ke dapur buat ambil piring, langsung menghampiri. "Udah sampe aja. Kayaknya baru tadi ngabarin kamu mau ke Depok."
Gue menoleh dengan sumringah sambil merengek, "Pokoknya hari ini Tasha mau buat kue yang enak! Nanti Tasha acak-acak dapurnya dikit ya, Ma."
Wanita paruh baya di depan gue terkekeh pelan. "Kok Mama baru tahu sih, kamu bisa bikin kue? Lagian kamu udah ada calon, kenapa baru kasih tau Mama sekarang?"
"Iih ... belum calon Ma ... baru ngincer aja." pipi gue memerah waktu membayangkan Mas Danang jadi 'calon mantu' nyokap. "Makanya Tasha harus bikin yang enak, Ma. Mama jangan ikutan dulu, ya. Tasha mau bikin yang original buatan Tasha."
Nyokap gue mengacak-acak rambut gue dengan gemas. "Terserah kamu. Yang penting, buat yang enak, ya."
Gue mengangguk dengan semangat. Berkat ide dari Pakdhe, gue jadi kepikiran buat bikin kue brownies. Yah, mungkin bapak-bapak emang suka sama kue brownies ya, masuk akal juga. Janji, deh. Brownies kali ini bakalan jadi brownies terenak yang pernah ada di dunia!
Yaaa ... tentu saja ada pajak dari Pakdhe. Ada porsi brownies yang dia request. Yaudah, itung-itung, bonus karena udah kasih ide kado buat Mas Danang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
Chick-LitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...