48 - Ngarsip di Malam Minggu

3K 343 19
                                    

Gue kasih tahu satu hal lagi ke kalian soal bos gue. Mau sebanyak apapun interaksi dia sama anak-anaknya, bos gue adalah makhluk paling nggak peka sejagat raya. Mungkin sebelum gue kasih tahu, lu semua udah nyadar juga kan.

Kayak yang terjadi hari ini, nih. Gue sebenernya lagi agak kesel sama Aldo dan Eve. Dua anak itu nggak balik-balik dari luar kota dari bulan lalu. Sementara, pagi ini gue dikasih tahu Pakdhe kalau tanggal sekarang adalah hari terakhir pengumpulan arsip hasil pemeriksaan tahun lalu. Termasuk klien-kliennya Aldo dan Eve.

Dan lu tau ini hari apa? Ini hari Sabtu, bos.

Beberapa partner langsung mengerahkan timnya yang di Jakarta untuk lembur masuk kantor, ngurusin arsip doang. Tentu saja nggak ketinggalan adalah bos gue, yang langsung nelepon gue pagi-pagi.

"Ya, Mas ... bukannya saya nggak mau, Mas. Tapi maaf banget sebelumnya, itu ada sekitar 32 jilid dokumen arsip." gue mengeluh di telepon. "Kayaknya saya nggak kuat deh Mas, kalau harus gotong-gotong sendirian. Serius."

Ya gimana, gue nggak mau iya-iya aja tapi gue harus beresin sendiri arsip dari 32 klien. Sebagai informasi, arsip satu klien itu biasanya satu jilid ordner, dan ruangan arsip kantor itu satu lantai dibawah lantai gue. Jadi biasanya, orang-orang harus gotong-gotong ordnernya ke lantai bawah lewat lift atau tangga darurat. Kalau satu doang nggak masalah, tapi kalo 32 gimana ceritanya gue beresin sendirian?

Pakdhe diam sebentar, ia berpikir di ujung telepon. "Beneran itu 32 belum diarsip semuanya?"

"Ya bener, itu 32 udah semua klien, termasuk punya Mas Andri dan Mas Danang."

"Emang seberat itu?"

Gue menjawab dengan dengusan kesal. Yah, si Waluyo kaga percaya. Lu coba aja sendiri, encok-encok dah lu.

"Pusing juga, sih. Andri katanya lagi ada acara peringatan 40 harian mertuanya. Danang bilang dia juga lagi ngurusin ibunya yang sakit. Kanaya juga sama-sama cewek, jadi nyuruh dia juga nggak terlalu berguna."

Gue menyipitkan mata. Lu lupa bos, kan gue juga cewek? Bukan ondel-ondel.

Terdengar suara Pakdhe menghela nafas panjang di ujung sana. Kayak bebannya beraaat banget. Siap, si paling punya beban berat.

"Yaudah. Gue aja yang bantuin lu kalo gitu. Langsung jalan sekarang aja, ya."

***

Gue belom pernah cerita detail tentang layout lantai gue kerja ya?

Lantai kami lumayan luas. Workspace kami ada dua sisi besar, sisi kanan dan kiri, dibatasi satu dinding besar sekaligus ruangan gudang, toilet, dan lift. Gue biasanya duduk di workspace 2, yang ada di sisi kanan gedung, sementara ruangan bos gue ada di sisi sebelahnya, workspace 1. Tiap workspace isinya ada sekitar 6 meja panjang, yang setiap mejanya diapit 16 kursi yang berhadapan, biasanya diisi level staf sampai senior. Ada juga beberapa kubikal-kubikal dan ruangan di setiap workspace, biasanya dihuni oleh manajer dan senior manajer.

Hari itu udah jelas berasa banget kosongnya. Workspace 2 cuma diisi sekitar tiga tim, sementara workspace 1 kosong. Lu maraton keliling workspace tiga kali, kurus lu.

Waktu gue mau ke pantry yang ada di daerah workspace 1, Pakdhe tampak lewat sekilas di koridor dengan cepat. Dengan setelan ala weekend - kaos oblong oversized warna biru dan celana linen hitam, serta rambut yang dibiarkan kering tanpa gel. Pakdhe nggak sendiri, ada Koh Peter di belakangnya.

Tapi ... gue agak mengerutkan alis melihatnya kali ini.

Gue menyipitkan mata. Meyakinkan diri sekali lagi, memastikan pandangan gue nggak salah. Nggak, nggak. Bukan karena dia lebih ganteng atau apa.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang