1 - Pakdhe Pikun

11.2K 640 16
                                    

Sudah dua tahun gue kerja di kantor ini, yang gue ceritakan di prolog. Ya, gue akhirnya diterima, dan sekarang posisi gue adalah assisstant level dua. Kalo kata orang, kantor konsultan gue adalah salah satu kantor yang paling nggak manusiawi. Lu nggak bisa bandingin kantor gue dengan pekerjaan lain, misal PNS, atau kantor-kantor normal pada umumnya. Kalau kantor, normalnya jam kerja mereka adalah jam delapan pagi sampai jam lima sore, normal. Habis itu, udah nggak akan ada lagi omongan soal kerjaan. Lembur pun, sesekali. Mungkin bisa cuma sebulan sehari, itu aja kayaknya karyawannya udah mengeluh luar biasa kalau disuruh lembur.

Hey dude, yang suka mengeluh kalau disuruh lembur, sini gue ceritain pekerjaan gue. Working hour kita adalah working hour paling fleksibel di dunia. Lu nggak mesti dateng jam delapan, lu mau dateng jam berapapun terserah elu. Asal kerjaan lu kelar. Bahkan, lu nggak masuk kantor juga terserah elu! Bebas, asalkan manajer lu setuju, lu bisa kerja dimanapun. Sangat fleksibel, bukan?

Saking fleksibelnya, lu juga nggak akan bisa tahu persisnya, jam pulang lu dalam sehari. Nggak kayak kantor biasa yang setelah diatas jam lima atau enam sore, no more works, nggak ada lagi omongan soal pekerjaan. No, dude, no. Di kantor kami, lu belum tentu jam enam sore udah pulang, leha-leha cari baju-baju lucu di Pacific Place, nongkrong-nongkrong fancy di Senayan City, atau nonton bareng pacar di CGV Grand Indonesia.

Jangan tanya gue jam pulang gue tiap hari jam berapa, karena gue juga nggak tahu! Gue pernah stay di kantor sampai jam lima pagi, dengan bos gue yang masih melototin kerjaan di depan gue. Gue pernah jam tiga pagi dimarah-marahin sama bos gara-gara kerjaan ada yang salah, ya lu bayangin jam tiga pagi ngantuk parah, disuruh ngitung milyaran angka pakai kalkulator! Gue juga pernah jam dua belas malam, tiba-tiba disuruh bos visit ke kantor klien yang ada di Kebayoran Lama, dari Senayan. Temen gue lebih parah, dia pernah seminggu nggak pulang, disuruh bos gue nginep di kantor, sampai dia beli celana dalam disposable karena nggak sempat ambil baju di kosan. Makanya, kalau ada orang kantor lain yang mengeluh lembur sampe setengah mati, padahal cuma lembur sehari doang, dan cuma sampai jam delapan malam, pengen gue injek-injek mukanya pakai sepatu Balenciaga yang tebelnya lima sentimeter itu!

Dan yang menemani gue menghadapi semua kedzoliman ini selama dua tahun, bos yang daritadi gue ceritain, siapa lagi kalau bukan pewawancara gue dua tahun lalu: orang Batak yang gue kira orang Jawa: Jatmiko Gumelar Nasution!

Bos satu ini udah kayak pacar gue sendiri, bahkan kalau lagi masa-masa lembur, udeh kayak suami gue sendiri (karena sudah tentu gue akan nginep di kantor bareng dia). Jabatannya sekarang senior manager, satu level dibawah jabatan tertinggi kantor kami – direktur.

Kalau lu berpikir bos gue sekarang udah tuek ... no-no, he's still as hot as two years ago! Cuma, sekarang kumis tipisnya sedikit lebih kelihatan, tapi itu malah membuat dia makin mempesona di mata wanita seumuran gue. Hobinya berpakaian rapi itu masih sama sampai sekarang, favorit gue dan anak-anak adalah setelan kerjanya yang serba hitam: kemeja hitam lengan panjang, celana kain Kenneth Cole slim-fit yang disetrika licin, dan sepatu hitam Louis Vuitton. Kayaknya gantengnya dia itu bertambah delapan ratus persen, gitu. Reza Rahadian? Lewat doang.

Informasi selanjutnya, doi masih single sampai sekarang.

Tapi gue, maupun teman-teman kantor, sama sekali nggak ada niat mendekati dia sebagai pria (selain sebagai bos). Alasannya? Lu tahu kan, dari apa yang tadi gue ceritain panjang lebar, bisa lu tangkap?

Ya, emang lu mau nikah sama cowok tukang lembur, tukang marah-marah, dan nggak kenal ampun kayak bos gue?!

***

"Pakdhe mana?" Eve, sahabat gue yang sama-sama anak buah Mas Tion, menepuk pundak gue. 'Pakdhe' adalah sebutan 'sayang' anak-anak ke Mas Tion (yang akhirnya semua orang jadi ikut-ikutan pakai sebutan itu). Kata Eve, karena Mas Tion galak dan pikun, kayak pakdhenya di Surabaya sana.

Gue mengangkat bahu, "Tadi sih gue setor kerjaan, dia nggak ada di ruangannya."

Eve mencibir. Diantara anak-anak Pakdhe, si Eve adalah yang paling pintar dan paling disayang Pakdhe (menurut gue), dan yang paling jarang dimarahin. Kalau ada proyek baru, pastilah si Eve ini dilibatkan dan dipanggil. Gue? Gue mah bego, dipanggil Pakdhe itu cuma buat dimarah-marahin doang. Kebegoan gue bahkan sudah diakui secara umum oleh tim gue. Ya ini satu kebanggaan gue, kebegoan gue verified. Kalo di instagram, begonya gue udah centang biru.

Gadis keturunan tionghoa itu kemudian mondar-mandir di samping gue, "Gue mau submit proposal nih. Abis itu gue mau izin setengah hari."

"Yaudah, samperin aja kali ke ruangannya. Kali aja dia udah ada."

Eve menggeleng. "Gue nunggu chat skype dia aja deh. Mager."

Ya, gue juga sejujurnya sedikit malas kalau harus nyamperin ke ruangan Pakdhe. For your information, ruangan Pakdhe dan tempat duduk kami berjarak cukup jauh, berseberangan. Kami harus mengitari setengah lantai untuk bisa sampai kesana. Makan tenaga.

Ting! Tiba-tiba notification skype gue bunyi. Gue dan Eve saling berpandangan setelah melihat siapa yang chat.

From: Jatmiko G. Nasution

Tasha, bisa ke ruangan gue?

Lah, ini yang nungguin kan Eve, kenapa nyariinnya gue?

***

"Ya, Mas? Cari saya?" gue masuk ke ruangan Pakdhe dengan perlahan.

Bos gue itu mendongak sebentar, lalu kembali tampak mencari sesuatu di mejanya yang acakadut. Gue masih diam di pintu. Menunggu aba-abanya untuk masuk. Gue masih aja demen memandangi keindahan manusia di depan gue ini. Senyebelin-nyebelinnya doi, ganteng mah ganteng aja. Hari ini doi memakai kemeja dengan salah satu warna favorit gue: biru muda, dan kayaknya dia baru cukur rambut. Ditambah, kayaknya dia baru ganti kacamata juga. Kacamata hitam Emporio Armani yang membingkai matanya membuat tampang kakunya terlihat lebih menggoda.

Duh, coba kalau nggak nyebelin, langsung hayuuuuk atuhh gue mah.

"Lu udah kasih gue report PT Jaya belom ya?" tanyanya sambil menggaruk kepalanya.

Gue mengernyitkan alis. "Barusan deh, kayaknya saya taruh disini," gue menunjuk mejanya dengan yakin. Gue memang yakin, gue barusan banget taruh disitu.

"Nggak ada! Jangan bohong, deh!"

"Lha, udah saya kasih kok, beneran!" gue maju dan mulai membantu mencari di mejanya.

Gue membalik-balik tumpukan buku di mejanya yang berantakan parah, sementara Pakdhe mencoba mengacak-acak lokernya. Tumpukan di meja itu isinya macam-macam, gue menemukan beberapa report yang kayaknya pekerjaan orang yang belum direview, undangan pernikahan yang udah lawas, catatan-catatan klien yang tampaknya penting, sampai ada tagihan listriknya dia semua ada disitu.

Hadeeeeh, ceroboh banget sih, ini beneran deh tipikal pakdhe-pakdhe yang udah mulai pikun!

"Ih, undangan kapan itu?" tiba-tiba Pakdhe menghentikan pencariannya dan merebut undangan yang kutemukan, "ya ampun, ini kan sebulan yang lalu! Mana dari komisaris perusahaan, lagi! Duh, ini tagihan kapan ya? Pantesan kemarin lampu mati!"

Ih bego bener, deh!

Pria itu berhenti membongkar lokernya, lalu duduk di kursi dengan tampang capek. "Kayaknya nggak ada, deh."

Gue mulai kesel, "Ilang dong kerjaan saya? Mana tebel banget itu."

Pakdhe menatap gue dengan mata yang berlagak puppy eyes. "Yah, Sha, print lagi, dong. Kayaknya tadi gue bawa, trus nggak tahu deh gue taruh dimana."

Arrrrrrrgggghhhhh!!!!!! Gue cuma bisa menghela nafas panjang, lalu dengan kesal melangkah keluar ruangannya.

"Eh, Sha, bentar deh," cegatnya, "lu ada liat kacamata baru gue, nggak?"

"ITU KAN LAGI DIPAKE, BAPAKK!!" jerit gue kesal sambil menunjuk mukanya. Gue curiga deh, ini orang kayaknya emang perlu buru-buru periksa penyakit Alzheimer!

***

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang