Pagi itu, gue belum sepenuhnya sadar ketika terdengar suara berisik dering telepon dari handphone. Gue yang masih malas, perlahan mengambilnya dan mengernyitkan alis ketika melihat layar handphone, dering itu langsung mati sebelum sempat gue terima.
Haduh, masih burem mata gue.
Gue memutuskan untuk meletakkan lagi handphone, lalu kembali membanting kepala ke bantal gue yang memanggil-manggil untuk kembali. Bodoan amat sama yang telepon. Paling juga si Eve atau si Aldo yang minta di-tag-in kursi karena dia mau dateng terlambat, atau apalah. Persetan.
Belum sempat gue berlayar kembali ke alam mimpi, handphone sialan itu berdering lagi. Aduh, ingin rasanya gue melaknat Eve atau Aldo di telepon! Dengan cepat gue meraih handphone dan membentak si penelepon,
"APAAN SIH BANGSAT?! LU KIRA INI JAM BERAPA NELPON-NELPON GUE?!"
"JAM SEBELAS!"
Jawaban di seberang telepon itu membuka mata gue lebar-lebar, yang tadinya masih lima watt sekarang jadi 250 watt. Pelan-pelan gue melepaskan handphone dari telinga, dan melihat layarnya.
Double combo kagetnya. Pertama, karena beneran ini udah jam sebelas alias gue kesiangan parah. Kedua, karena yang tadi gue katain bangsat itu adalah Pakdhe.
Rasanya tuh pengen aja detik ini berubah jadi buah-buahan.
"Lu dimana sekarang? Udah di kantor?" gue sedikit menghela nafas lega, ketika suara di seberang sana tampaknya nggak mempermasalahkan kata mutiara yang sempat gue teriakkan tadi.
"Sebentar lagi sampai, Mas ..." jawab gue seadanya, sambil cepat-cepat bangkit dari kasur dan langsung berjalan menuju kamar mandi.
"Yaudah. Kalo udah sampai, langsung ke ruangan gue. Jam berapa kira-kira lu sampai?"
Gue seketika berhenti berjalan, lalu memejamkan mata. Mengurungkan niat gue untuk mandi. "11.30 kayaknya."
"Lama amat? Bukannya kosan lu deket ya?"
"Ma-macet banget, Mas." mencoba membuat alasan keterlambatan yang paling masuk akal di ibukota ini.
"Oh, yaudah. Kabarin aja."
"Baik, Mas."
"Ngomong-ngomong, kenapa tadi lu ngatain gue bangsat?"
TUT! Buru-buru gue mematikan telepon secara sepihak. Lalu mengetik chat WA:
Maaf Mas, lagi di ojek. Nanti saya langsung ke tempat Mas kalau udah sampai.
***
Gue memasuki ruangan Pakdhe dengan tergopoh-gopoh begitu selesai menitipkan tas ke Eve. Pria itu tengah duduk memelototi lembar report - yang gue gak tahu report siapa - sambil mengurut-urut dahinya. Gue mulai kepikiran buat nawarin dia panadol di dompet gue.
"Eh, sini lu!" serunya begitu menyadari kehadiran gue. Gue masuk dengan takut-takut, lalu menduduki kursi di hadapannya dengan hati-hati.
BRUK! Ia membanting report yang tadi dia pelototin, tepat di meja hadapan gue. Gue membeku. Masih berusaha mengolah apa yang barusan terjadi.
"Gue udah dimarah-marahin Pak Ridho," suara beratnya sedikit meninggi, "gimana bisa masih banyak typo dan grammar yang salah?! Itu kan jenis kesalahan yang basic banget, gue itu kemarin cuma review angka karena gue pikir lu udah bisa handle yang gini-gini. Lu bisa nggak sih, teliti sedikit?!"
Gue cuma bisa menunduk, melirik halaman report yang tadi dia banting, warna warni dengan coretan pulpen merah. Report PT Alpha. Pak Ridho adalah partner (kalau di company, setara direktur) yang bertanggungjawab atas klien tersebut, dan memang terkenal galaknya minta ampun ke manajer-manajer.
Melihat dari kemarahan dia sekarang, gue yakin bos gue ini mungkin udah kena lempar report di mukanya.
"Beliau ternyata nggak jadi flight kemarin, jadi dia sempet marah-marahin gue hari ini. Gue udah marah-marahin Danang juga karena dia nggak review dengan maksimal, tapi hari ini dia nggak bisa bantu gue karena lagi keluar kota." suaranya sedikit merendah, "kenapa sih lu masih kayak first year aja? Ngerjain ginian aja masih salah. Level lu kan udah associate tahun kedua, tahun depan naik Senior. Gimana gue mau kasih penilaian yang bagus kalau lu kayak gini."
Gue diem seribu bahasa. Nadanya yang melembut malah membuat gue makin merinding. Saat ini gue pengen banget nangis, antara merasa nggak becus, juga takut setengah mati.
"Yon!" gue mendengar suara Koh Peter dari luar ruangan, "Ayo! Mau turun jam berapa?"
"Lima menit!" seru Pakdhe, "Atau lu duluan aja deh!"
"Kenapa? Lu nangisin anak orang lagi?"
"Enak aja lu!" sahut Pakdhe, diiringi suara tawa bapak-bapak khas Koh Peter yang makin menjauh.
Pakdhe bangkit dari kursinya, lalu berjalan perlahan memutari meja, mendekati gue yang masih menunduk dalam-dalam. Pria itu menunduk, mendekatkan wajahnya ke sisi kiri wajah gue. Jantung gue seolah kejar setoran memompa darah. Gue berkeringat di ruangan Pakdhe yang ber-AC itu.
"Mulai sekarang, kerjaan lu gue aja yang review, nggak usah pakai bantuan manajer lain lagi. Lu, direct ke gue." ia berbisik perlahan, persis di telinga kiri gue, "biar kalau salah lagi, gue mampusin lu!"
Lu bisa menebak kalau setelah itu gue makin membatu, sementara Pakdhe berjalan keluar ruangan mengikuti Koh Peter sebat ke bawah.
Belum pernah kan lu dimampus-mampusin seniormanajer sendiri?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...