62 - Om-om

3.2K 407 60
                                    

Seperti bayangan kalian semua, di setiap klien kami, Pakdhe adalah salah satu personel konsultan yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya oleh klien. Ditunggu para petinggi-petinggi karena kejeniusannya, dan ditunggu karyawan-karyawan cewek karena kegantengannya. Tak terkecuali di tempatnya Ali.

Sebagai klien start-up, karyawan di kantor Ali isinya karyawan muda, apalagi bagian operasionalnya. Rata-rata usianya 20-30an. Sebetulnya banyak juga koko-koko dan mas-mas ganteng disana, tapi kayaknya pesona Pakdhe sebagai om-om hot daddy masih laku di mata anak-anak jaman sekarang. Bingung gue, ini anak-anak karyawannya pada kena daddy issues apa gimana sih? Apa karena Pakdhenya yang kecakepan? Entahlah.

Gue paling males kalau sampai ke kantornya Ali pas bareng Pakdhe, kayak hari ini. Karena kami ditempatkan di lantai tiga, otomatis gue dan Pakdhe harus melewati lantai satu dan dua sebelum sampai ke ruangan kami. Gue udah pernah cerita, lantai satu dan dua isinya orang operasional dan orang administrasi, yang sudah pasti banyak kaum hawanya. Saat kami berdua berjalan beriringan, sepanjang jalan gue berasa kayak fashion show. Dikagumi karena ikut kecipratan pandangan terpesona cewek-cewek ke Pakdhe, tapi juga di-judge dengan pandangan sinis karena berani-beraninya jalan di sebelah Pakdhe.

Gue kadang berharap jadi secakep Kanaya di saat-saat begini. Seenggaknya, yang jalan sama Pakdhe mukanya gak buluk-buluk banget kayak gue.

Kami sampai di ruangan biasanya jam sepuluh pagi. Pakdhe langsung mengambil posisi duduk dan membuka laptop, sementara gue berhenti sebentar sambil mengatur nafas. Dia yang sadar gue ngos-ngosan langsung julid, kayak netizen.

"Lu sering banget ngos-ngosan. Olahraga lu. Baru naik tangga aja udah kayak maraton, dasar anak jaman sekarang."

Gue cuma melirik dengan sinis. Bos, gue gini bukan cuma karena naik tangga, ya! Gue ini ngimbangin langkah kaki lu yang kayak naik egrang, ditambah lagi tekanan tak terlihat dari penggemar-penggemar gila lu di lantai satu dan dua! Sumpah deh, gue kangen banget masa-masa work from home. Seenggaknya gue nggak mesti ngos-ngosan dulu sebelum kerja!

Tiba-tiba pintu kami diketuk dari luar. Gue mengerutkan alis, karena seinget gue, Pakdhe bilang kalau Ali hari ini lagi izin cuti. Seharusnya nggak akan ada kunjungan ke ruangan kami, kecuali direksi yang mau diskusi sama Pakdhe. Itupun harusnya masih sejam lagi.

Sedetik kemudian pintu terbuka. Alis gue makin mengerut. Ada tiga cewek yang gue tahu - staf marketingnya Ali, berdiri sambil cengar-cengir di depan pintu. Ketiganya masih muda, yah ... gayanya ala cewek-cewek metropolitan dengan umur dibawah 25 tahun. Namanya dari divisi marketing, setelannya modis-modis. Rambutnya warna warni kayak jajanan getuk lindri. Satu rambut panjangnya lurus dicat pirang, satu rambut pendek dengan style peek-a-boo warna hijau neon, dan satu lagi rambut model butterfly dengan warna cokelat muda.

Brengseknya gue, gue lupa nama tiga-tiganya.

Gue menatap Pakdhe dengan bingung, sementara pria itu cuma menoleh sekilas dan balik ke laptopnya lagi. Kerjaan kami ini seharusnya nggak berhubungan banyak sama orang marketing, kami lebih banyak berhubungan ke orang accounting. Ada sih beberapa kali gue nanya sesuatu ke mereka, tapi nggak sesering itu makanya gue sampai lupa namanya. Gue juga nggak punya permintaan data yang masih pending di bagian marketing. Pakdhe apalagi, mana pernah dia berhubungan sama klien yang levelnya dibawah Ali.

"Hai, Sha." ujar si pirang dengan suara pelan dan lembut. Suaranya beda banget waktu pas gue nanya-nanya ke mereka. "Pak Ali tadi bilang, kalian mau dipesenin makan apa. Nanti kita sampein ke OB biar dibeliin."

"Hai ..." gue tersenyum absurd, "Nanti aja kayaknya. Biasanya OBnya kesini sendiri kok. Kita nanti titip langsung aja."

"Oh ... gitu ..." ia terlihat kecewa, sambil melirik ke temen-temennya.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang