Sudah dua minggu berlalu sejak kami pulang dari staycation Bandung. Memang bener kata orang, kalau mau mengakrabkan tim, salah satu caranya adalah staycation.
Beberapa hal terjadi setelahnya. Aldo, sekarang jadi sering sebat bareng Mas Danang atau Mas Andri, tentu saja ke tempat rahasia yang katanya tidak terjamah para bos. Mas Danang dan Mas Andri jadi duo yang tak terpisahkan, kemana-mana bareng, kayak Nobita dan Doraemon - tentu Mas Andri doraemonnya. Gue mau bilang Mas Danang jadi Dekisugi, tapi Dekisugi nggak pernah hangout sama Doraemon. Gue, Eve dan Kanaya mulai sering ngumpul bareng. Eve dan Kanaya bahkan jadi langganan bareng platform nonton drama korea, begitu tahu mereka satu hobi.
Pakdhe? Yah, yang jelas dia jadi lebih dekat sama semuanya, kecuali gue. Dia menepati janjinya menjauh dari gue. Gue nggak tahu apa ini ulahnya juga, klien-klien yang tadinya dia pegang berdua sama gue, tiba-tiba manajernya udah diganti di sistem jadi Mas Danang dan Mas Andri.
Apa itu artinya juga gue dibuang dari tim? Entahlah. Efeknya, gue memang jadi lebih deket sama Mas Danang. Gue bener-bener jarang ketemu Pakdhe, mungkin seminggu cuma 2-3 kali, itu juga karena dipanggil Mas Danang ke ruangan Pakdhe buat diskusi transfer knowledge. Selama diskusi sih normal ya, kami ngobrol biasa aja, kayaknya dia berusaha profesional. Kalau diluar itu, kami saling menghindar.
Hari itu masih pagi dan gue masih fokus mengerjakan data klien di laptop. Gue sengaja dateng pagi supaya bisa kerja dulu, gue datang sekitar jam delapan. Soalnya jam 10 gue bakal mulai training kantor, katanya sih update prosedur audit tahunan.
Tiba-tiba terlihat notifikasi chat dari Mas Danang.
'Sha, ke ruangan saya, yuk. Kita diskusi yang kemarin.'
Gue, walaupun udah kerja bareng dia hampir dua minggu, masih aja rasanya degdegan kalau lihat chatnya. Emang ya, cinta itu bikin capek degdegan.
***
"Halo." Pria itu tersenyum ramah ketika melihat gue masuk ruangannya. Ruangannya masih bersih, walaupun ya ... udah ada beberapa tumpukan dokumen di mejanya, tapi belum seberantakan ruangan Pakdhe.
Gue agak terpesona, soalnya hari ini Mas Danang tampak lebih rapi dari biasanya. Ia memakai setelan batik warna marun lengan panjang, yang kelihatan banget baru diseterika. Rambutnya juga disisir rapi, meskipun sehari-hari udah rapi, tapi kali ini kayaknya dia pakai sedikit lebih banyak gel rambut. Dandanannya jadi agak mirip caleg. Tapi kalau casing calegnya begini, gue nggak peduli programnya apa, gue langsung coblos aja. Gue anaknya visual.
Ia buru-buru menggeser tumpukan itu supaya meja di hadapan gue duduk benar-benar bersih dan kosong. "Sorry ya, berantakan."
"Nggak apa-apa, Mas." gue berusaha memasang senyum semanis gula bibit.
"Pusing nih, ada deadline PT sebelah. Makanya saya langsung panggil kamu kesini." ia tertawa pelan, "saya udah baca yang kamu kirim semalam. Udah bagus, tapi kayaknya kita perlu tambahin analisa di bagian paragraf kedua deh, Sha. Saya udah kasih comment di word-nya. Coba kamu lihat dulu."
"Oke, Mas." gue langsung bersemangat membuka file yang dimaksud di sharepoint. Positif Mas Danang adalah dia kelihatan menghargai banget kerjaan gue, minta maaf kalau dia salah, dan dia kasih solusi kalau gue ada kekurangan. Jadi nggak marah-marah doang kayak Pakdhe. Ya ... meskipun kalau teknikal, Pakdhe jauh lebih pinter, tapi kan kalo jadi bos, yang dibutuhin bukan pinter doang.
Sedang semangat gue mengerjakan comment-nya, Mas Danang tiba-tiba buka suara, "Kamu kenapa sama Mas Tion?"
Suara ketikan gue seketika berhenti. Gue nggak menduga Mas Danang ngeh, dan sekarang gue nggak tahu mau respon apa.
"Kenapa emangnya?" gue memilih buat nanya balik.
"Apa cuma perasaan saya, kalian nggak seakrab dulu."
"Dari dulu juga kita nggak akrab kali. Berantem melulu."
"Berantem itu bagian dari akrab, Tasha." Mas Danang terkekeh. "Pokoknya sejak balik dari Bandung. Apa terjadi sesuatu disana diantara kalian?"
Gue diem. Mau jawab, tapi jawab apa. Orang kan salah satu penyebabnya justru elu, Mas!
Ia mendekatkan kepalanya dan berbisik, "Kalian putus?"
"IIH! Apaan sih, Mas?!" gue memekik sambil memukul meja pelan, "putus apaan sih?! Kabel wifi kali putus! Mulai deh ... nggak jelas Mas Danang!"
"Hahaha ... Habisnya kenapa dong? Masa ada orang tiba-tiba diem-dieman begitu. Tuh, pipi kamu juga merah, kaya bakpao baru mateng."
Gue memegang kedua pipi yang katanya merah. Emang panas, malu banget rasanya dikatain bakpao baru mateng. Eh, tapi emangnya bakpao baru mateng warnanya pink? Asal jeplak aja nih bapak-bapak.
Gue kenapa sih?! Norak banget, udah jelas itu Mas Danang cuma ngeledek lu doang, Tasha! Mana mungkin dia serius nanya! Lu yang nggak jelas, kenapa pake tersipu nggak jelas begitu!
Belum selesai gue mengkondisikan pipi gue, terdengar suara pintu ruangan dibuka.
"Danang, jadi diskusi materi ngajar training nanti?"
Gue yang terlanjur menoleh ke arah pintu sambil masih megangin pipi, cengo sebentar. Ni gue kenapa sial melulu dah, udah menghindar masih aja ketemu dia. Mana tumben dia ganteng banget pagi ini.
Pakdhe juga pakai setelan batik slim-fit lengan panjang, tapi dengan warna lebih formal, cokelat-hitam dengan warna dominan hitam. Dia kayaknya sadar kalau dia emang lebih cakep pakai warna hitam. Ditambah celana kantor dan pantofel hitam. Gue agak kaget juga karena baru kali ini Pakdhe pakai gel rambut, biasanya rambut pendeknya dibiarin aja kering dan disisir seadanya, siang sedikit poni pendeknya udah acakadut. Hari ini rambut belah sampingnya sedikit di-slick back sehingga tampak lebih rapi, memamerkan jidatnya yang nggak terlalu lebar. Makin mempertegas tulang wajahnya yang keras.
Untung nggak setiap hari dia dandan begini. Bisa jantungan terus gue. Eh, kok gue malah jadi ngeliatin dia, sih?
Pakdhe melirik gue yang masih membuka laptop di hadapan Mas Danang. "Lo lagi sibuk, ya? Mau jam berapa?"
"Sebentar kok ini. Nanti kalau udah beres saya ke Mas Tion, deh." sahut Mas Danang.
"Oke. Bye."
Pintu ditutup. Gue perlahan balik lagi menghadap laptop, dan balik mengerjakan comment Mas Danang.
"Sha, bukannya kamu harusnya ada training juga? Kan kamu udah senior." tanyanya.
"Oh iya!" Gue baru ingat, di kalender laptop, ada reminder training jam 10.
"Kelas berapa?"
"Tiga."
"Wah, ketemu dong kita. Nanti saya sama Mas Tion ngajar disana, Sha."
"Oh, iya kah?" Berarti gue bakal liat Pakdhe ngajar juga, dong? Selama gue di sini, gue nggak pernah diajar training sama dia.
"Harusnya nanti Mas Tion ngajar setelah saya, di bagian work ethic." Mas Danang tertawa, "kenapa dia nggak dikasih bagian yang susah aja, ya. Padahal Mas Tion cocok kalau jadi dosen, kalo jelasin enak."
Gue diam aja. Iya, kalo jelasin ke anak orang lain dia baik. Kalo ke timnya sendiri kayak dajjal.
"By the way, kamu sakit?"
Gue mendongak, "Hah? Nggak. Kenapa?"
"Muka kamu tambah merah, tuh." muka Mas Danang berubah jail, "Hayooo, habis mikirin siapa?"
Gue memegang lagi pipi gue yang memang lebih panas dari yang tadi. Ya Tuhan! Kan gue cuma ngeliatin Pakdhe sebentar!
Bener nih kata Pakdhe, gue harus cari pacar, biar nggak dikit-dikit salting kayak orang norak!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...