28 - Konsultasi Perawan Tua

3.5K 313 13
                                    

Gue mau tanya sama kalian. Menurut kalian, memangnya berapa sih usia ideal perempuan buat menikah? 25? 27?

Gue tahun ini 28 tahun, sesuai dengan nomor bab ini. Tapi nggak tahu ya, menurut gue, gue  yang sekarang sama sekali belum ideal buat menikah. Gue masih nyaman ngekos sendirian. Nggak bisa masak, skill tertinggi gue yang unlocked di dunia masak-memasak cuma bikin nasi goreng. Kalau ikut Masterchef, waktu gue habis cuma buat bedain mana ketumbar mana merica. Nyuci baju juga malas, seminggu sekali kalau lagi ambisius di kehidupan ini, itupun laundry. Nyapu? Ngepel? Nama makanan daerah mana itu? Gue cuma nyapu dan ngepel kalau nyokap gue sidak kosan, itupun pakai acara kena khotbah jum'at dulu. Bentukan gue begitu, gimana mau disuruh ngurusin anak orang, coba. Yang ada, suami gue kalau nikah sama gue malah jadi gembel.

Apakah gue tidak ditanya kapan nikah setiap gue pulang kampung?

Apa lu bilang? Setiap pulang kampung? Setiap minggu ada gue ditanya. Kalau lagi rajin bisa tiga hari sekali. Bukan sama om tante gue doang, sama orangtua gue sendiri juga. Orangtua lain kalau nanya anaknya enak, macam 'apa kabar'? 'Udah makan belum'? Orangtua gue nanya, 'jadinya dapet orang mana'? 'Orang mana' apaan, coba. Kalau orang aring, nah itu baru gua punya di kosan.

Tapi akhir-akhir ini orangtua gue sedikit naik level. Semenjak pergaulan mereka merambah ke dunia Instagram dan Tiktok, hampir setiap hari gue dikirimin kata-kata nasihat cepat menikah. Gue paham lu semua pasti pernah lihat, atau malah sering dikirimin. Pokoknya, gambar dengan background warna warni yang diisi kata-kata nasihat atau kutipan ayat, bahwa Adam dan Hawa diciptakan berpasangan.

Iya, tapi pada waktu itu kan manusianya cuma berdua, bos. Mereka mau ngapain lagi coba kalau nggak menikah, main kasti? Di zaman itu Hawa-nya juga santai, nggak harus nguli buat bayar token listrik kayak gue sekarang.

"Sha, coba deh, lu geser ke sheet sebelahnya. Mau baca di perjanjiannya, dia bilang apa."

Suara bariton Pakdhe mengagetkan lamunan gue. Gue sampai hampir lupa kalau gue sedang duduk berhadapan sama dia di ruangannya, dengan layar laptop yang di-share screen ke laptopnya.

Buru-buru gue memindahkan layar ke sheet yang dia maksud, lalu mendiamkannya supaya Pakdhe bisa membaca dengan tenang.

"Tahan dulu, ya. Gue baca dulu."

"Ya, Mas." sahut gue sambil sesekali melirik pria itu. Sedetik kemudian tampak ia mengerutkan alis membaca tulisan-tulisan gue, rangkuman dari perjanjian klien yang dia minta kemarin malam. Dasar gue, makhluk visual, masih suka kecele sama tampang Pakdhe yang makin cakep kalau lagi serius, apalagi ditambah dengan kacamata hitam yang mempertegas garis wajahnya. 

Hadeh. Kapan gue punya bos yang seganteng dia, tapi sikapnya cool, tegas, berwibawa macam bos-bos di cerita novel. Nah ini, modal ganteng doang, kelakuan kayak badut taman ria.

Ting! Tiba-tiba muncul notifikasi WhatsApp dari layar laptop, yang memang gue pasang aplikasinya di laptop. Gue melirik pengirimnya, dari Nyokap.

Selagi Pakdhe serius menatap layar laptopnya sambil menopang dagu, gue meng-klik pesan dari Nyokap. Yah, gue tahu sih isinya apa, tapi barangkali kali ini penting. Siapa tahu buah mangga di depan rumah dimaling orang, atau iuran arisan nyokap nambah sejuta, kan takut juga gue.

Ya elah. Gue kecewa waktu membuka chat dari Nyokap. Sebuah gambar dengan background pink mencolok, dengan header segede gaban: "DOA MINTA JODOH". Mungkin dapet dari grup WhatsApp arisannya.

Gue cuma menghela nafas, yah, kirain apaan. Udah capek sih. Tapi tetep gue baca juga tulisan arab yang ada di bawahnya dalam hati. Namanya juga usaha.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang