44 - Gurita dan Penguin

3.1K 348 25
                                    

Nasib gue, nasib gue. Kocak bener hidup gue kayak srimulat.

Gue masih berusaha menenangkan Kanaya yang menangis meraung-raung di seberang telepon. Hari ini dia nggak masuk kantor karena jadwalnya work from home. Gue tiba-tiba ditelepon pagi-pagi, suara pertama yang gue denger bukan 'halo', tapi 'HUEEE'.

Pake ditanya nangis kenapa. Kenapa lagi kalau bukan karena penolakan cinta si bos kadal alaska.

"Shaaa ... Gue kurang apa sih, Shaa ... Apa gue kurang cantik, kurang seksi, kurang manja, sampai-sampai gue ditolak Mas Tion ..." raungnya sambil terisak-isak.

"Nggak kok, Kanaya. Lu cakep banget, mungkin Mas Tion cuma nyari yang lebih dewasa aja." hibur gue. Lebih tepatnya mencoba menghibur, karena udah setengah jam dia nanya hal yang sama, gue jawab hal yang sama juga. Kayak chat GPT.

Yaudah, diem aja, deh.

"Apa gue perlu make up supaya lebih dewasa ya?"

Gue menggaruk kepala. "Nggak sih kata gue. Lu udah cantik banget. Kalau lu make up ketebelan malah kaya tante-tante."

"Tapi kan kata lu Mas Tion sukanya sama yang tua. Biarin aja gue kaya tante-tante asal dia suka."

"Nggak gitu sih Nay konsepnya. Aduh, gimana jelasinnya, ya."

Tangis Kanaya mulai mereda, tapi masih sesenggukan. Lumayan kuat juga dia nangis teriak-teriak. Untung lagi di rumah, kalau di kantor bisa-bisa disuruh tes urine. Dikira sakaw.

"Tapi dia bilang dia lagi suka sama orang, Sha. Siapa kira-kira, ya?"

Gue menghela nafas, "Nay, informasi tentang Pakdhe yang kita punya cuma nomor mahasiswa, universitas, sama tahun lulusnya. Selain itu paling pengalaman kerja. Gimana coba kita mau cari informasi itu."

"Iya juga sih." Kanaya terdiam.

Gue ikut diem. Kurang bangsat apa gue. Gue yang menginspirasi penolakan Pakdhe buat Kanaya, trus sekarang gue ngehibur dia dan pura-pura nggak tahu. Gila, antagonis banget gue. Itu setan-setan kalau ngeliat kelakuan gue juga jadi pengen nyembah. Emang bener-bener brengsek lu, Sha. Inget karma lu.

Apa gue jujur aja?

Tapi kalau gue jujur, nggak kebayang bakal semarah apa Kanaya ke gue. Gue juga nggak tega, karena sebetulnya gue kan nggak menyuruh Pakdhe buat nolak. Pakdhe sendiri yang mau, dan secara nggak sengaja aja gue menginspirasi. Iya nggak sih?

Yah, tapi suatu saat gue berencana jujur ke Kanaya. Nggak sekarang. Mungkin nanti, ya kira-kira kalau dia udah punya anak tiga, lah. Tragedi kan kalau udah lama berubah jadi komedi.

Haduh, Mas Tion! Kenapa sih, nggak kerjaan, nggak pribadi, hobi lu nyusahin gue mulu! Gue doain yang gali kuburan lu tukang galinya masih magang, ngegalinya kurang lima senti! Nekuk-nekuk dah jempol kaki lu di sono!

"Tasha."

Gue reflek mematikan telepon Kanaya dan langsung menurunkan handphone gue ke bawah. Sumpah, sorry banget, Nay! Suara Mas Danang bener-bener dah, bisaan aja ngontrol reflek badan gue langsung siap, kaya komandan paskibraka.

Mas Danang muncul dari belakang gue. Ia tersenyum sambil menarik kursi Eve yang kosong lantaran ia belum pulang dari stock opname. "Saya duduk disini, ya."

Gue ngangguk aja kayak pajangan mobil. Diem aja bak orang kena gendam, membiarkan Mas Danang duduk di samping gue.

"Saya mau kasih sesuatu ke kamu."

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang