5 - Cerita Mas Danang

4.8K 476 2
                                    

Persis jam 6 sore gue sedang sibuk beberes di meja, siap-siap pulang, ketika Mas Danang menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Ia masih menenteng map dan laptop, kayaknya baru kelar rapatnya.

"Sha, Report-nya ..."

"Udah kok Mas," sahut gue sambil tersenyum, "Tadi Mas Tion udah review, sekarang udah dikasih ke partner."

Mas Danang berhenti dan menghela nafas lega, "Ya ampuuun, syukur deh. Soalnya tadi handphone saya silent, Mas Tion ada missed call sampai enam belas kali. Saya juga baru inget kalo partner-nya bakal ke Kalimantan sore ini. Dia marah-marah nggak tadi sama kamu?"

Gue menggeleng, "Nggak sih. Tadi dia langsung review, langsung update juga. Kayaknya juga kalo dia marah, sekarang juga udah lupa."

Mas Danang tampak mengernyitkan alis, "Dia mau gitu update sendiri? Tumben banget dia nggak marah-marah. Jaman dulu, kalo lagi marah dia bisa nyemprot siapa aja. Kayaknya kok sekarang dia lebih sayang sama kalian, ya?"

"Dih, apaan sih, Mas." gue geleng-geleng kepala.

"Dulu saya juga pernah ikut beliau." Mas Danang mengambil bangku kosong Eve di sebelah bangku gue. Eve sudah pulang duluan daritadi. Gue berhenti beberes, tampaknya Mas Danang mau ngajakin ngobrol. Mimpi apa gue semalem?

"Setelah beberapa tahun lalu, akhirnya dia punya anak buah cewek lagi. Angkatanmu." katanya sambil menaruh mapnya di meja Eve.

Gue mengernyit heran. "Selama ini anak buahnya cowok, ya?"

"Dulu pernah kok, beberapa kali dia punya anak buah cewek, tapi nggak ada yang kuat. Dulu, Mas Tion itu jauh lebih keras dari sekarang. Nggak ada obat. Kamu salah, kamu telat, bisa langsung dimarahin di depan umum. Nggak sungkan-sungkan, sampai waktu saya masih selevel kamu, dia sempat ditegur partner karena staff-nya banyak yang resign."

"Saya bertahun-tahun kerja dibawah dia sampai jadi selevel sekarang. Mas Tion itu orangnya strict, kalo iya-iya, nggak ya nggak. Dan dia terkenal nggak suka munafik, jadi kalau dia nggak suka sama orang, dia akan jadi keras. Cara dia ngajarin orang juga keras, dan nggak semua orang cocok. Saya nggak inget udah berapa temen-temen yang resign karena dimarah-marahi waktu salah mengerjakan tugasnya. Tapi dia sebenernya profesional, dia cuma marah-marah soal kerjaan di satu waktu doang. Nggak pernah sih dia sampai marah-marah kalau diluar kerjaan."

"Tapi tadi saya sempet kaget sih, waktu dia ngancem saya kalau godain kamu," Mas Danang terkekeh geli, "Seumur-umur dia pernah punya staff cewek, nggak pernah tuh dijagain sampai begitunya. Saking profesionalnya, setahu saya sih mana peduli dia soal pribadi yang begituan. Mau staff-nya digodain kek, mau jalan sendirian tengah malam kek, masa bodoh. Setahu saya, dia cuma peduli kalau ada masalah yang bawa-bawa nama perusahaan kita, atau nama dia sendiri."

Gue mendengarkan dengan setengah nggak percaya, "Secuek itu?"

Mas Danang mengangguk. "Secuek itu. Mas Tion dulu biasanya nggak suka ada hubungan diluar kerjaan sama anak-anaknya. Makanya, lucu aja sih pas kamu digituin. Saya berasa lagi diancam sama bapak kamu."

Gue bergidik ngeri membayangkan Mas Tion jadi bokap gue.

"Eh, by the way, Mas Tion udah pulang belum, ya?" ia melirik jam tangannya, "saya masih ada utang yang lain sama dia."

"Mmm ... kayaknya sih tadi saya liat, dia masih belum pulang Mas. Nggak tahu deh sekarang."

"Oh ... okay. Yaudah yuk bareng, kamu mau jalan ke arah lift kan, mau pulang?"

Gue mengangguk, lalu jalan mengekor di belakang Mas Danang. Menatap punggungnya yang bidang dengan seksama. Punggungnya nggak selebar Pakdhe, yang biasa gue ikutin selama ini. Postur Mas Danang juga baru kusadari sedikit lebih pendek dari Pakdhe, dan langkahnya lebih pelan sehingga masih bisa gue ikutin. Kalau sama Pakdhe, gue harus marathon kecil karena jalannya kayak orang kebelet pup, dan langkahnya jauh lebih panjang dari gue.

Lho, kenapa gue jadi banding-bandingin dia sama Pakdhe, ya?

Tiba-tiba di hadapan kami muncul sesosok pria yang dari tadi gue batin, sedang berjalan cepat ke arah ruangannya yang sejalur dengan arah jalan gue dan Mas Danang. Tampaknya dia habis keluar dari ruangan partner.

YA TUHAN, KENAPA PRIA INI SELALU MUNCUL DI HADAPAN GUE DISAAT GUE BATIN TENTANG DIA? Gue mulai curiga dia punya ilmu kebatinan, bisa mendeteksi siapa orang yang lagi membatin tentangnya.

Lalu gue membatu saat mata elang pria itu tertuju ke arah kami berdua. Tiba-tiba flashback adegan sentuhan tangan kami tadi sore terputar kembali di kepala, membuat wajah gue auto-panas lagi.

"Mas Danang, udah ya, saya duluan!" pamit gue ke Mas Danang sambil berlari ke arah pintu lift, mengabaikan Pakdhe yang melihat gue dengan tatapan heran karena gue kayak dikejar Mimi Peri.

"Woi Tasha! Kenapa yang dipamitin cuma Danang doang, nggak pamit ke gue?!" teriakan Pakdhe dan decakan herannya sama sekali tak kugubris, berikut suara tawa Mas Danang yang terdengar samar-samar di belakang.

***

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang