16 - Nangis

3.8K 354 8
                                    

Siang itu, kami bertujuh hanya duduk termangu di ruang tengah memandang hujan dari pintu halaman tengah yang terbuka.

Iya. Bandung hujan deras sejak pagi. Meruntuhkan impian Eve berjumpa dengan meerkat dan gorila di kebun binatang.

"Eve, udahlah, kan di Jakarta ada Ragunan." Aldo masih mencoba menghibur Eve yang duduk di sebelahnya sambil membuka kuaci. "Nih gua kupasin kuaci buat lu."

"Emang aku curut, makan kuaci?" Eve menolak kuaci yang diulurkan Aldo. Mas Andri yang juga sedang mengunyah kuaci merengut, merasa masuk kategori curut.

"Udeh jangan ngambek." Pakdhe yang ikut mengambil kuaci buka suara, "Lagian, gorila bandung sama jakarta juga sama-sama gorila. Bedanya, gorila sini bisa bilang kumaha damang."

Kanaya, Mas Danang, dan Mas Aldo tergelak. Gue berusaha keras menahan tawa. Sial, jokes bapak-bapak mulai terasa lucu.

"Tapi hujan-hujan enaknya ngapain ya? Masa tidur lagi." Mas Danang menyenderkan punggungnya. Entah kenapa melihat Mas Danang, Mas Andri, dan Pakdhe duduk satu sofa bertiga seperti melihat Pakdhe menjilat ludahnya sendiri. Mereka kayak salak sekarang.

"Kalo saya sih, biasanya kalo hujan nonton netflix di kosan." aku ikut mencomot kuaci. Aku duduk di sofa terpisah, berdua dengan Kanaya. Anak itu langsung terloncat girang mendengar ide gue.

"Eh! Boleh-boleh! Kayaknya seru ya, nonton bareng! Mau dong! Mau film apa?"

"Korea aja yuk?" Eve nyeletuk. Yang disambut anggukan antusias dari Kanaya. Sepertinya mereka sama-sama budak drakor.

"Wey, ngotak dikit. Itu bos-bos bertiga lu suruh nonton siwon mana mau." bisik Aldo sambil menoyor Eve, disambut cibiran sinis cici-cici itu.

"Film PKI aja."

Semua menoleh dengan tatapan datar ke Mas Andri.

"Kan katanya jangan melupakan sejarah."

Monmaap, netflix mana mau beli lisensi film begituan. Selain itu kenapa dari sekian juta film yang terpikir film itu.

"Ngapa lu kepikiran dah, mantan gerwani lu ya?" tanya Pakdhe.

"Iya nih, si Andri suka aneh-aneh. Nggak normal lu." timpal Mas Danang, "Btw Human Centipede ada nggak di netflix?"

Tatapan datar sekarang beralih ke Mas Danang. Sebenernya dia ngerti nggak sih definisi 'nggak normal'?

"Tasha aja yang tentuin. Kayaknya dia paling waras di tempat ini." ujar Pakdhe. "Gue jarang nonton film, jadi ngikut aja. Kalo boleh sih horor atau action ya, biar netral. Kan disini ada semua umur nih, dari muda-muda sampai tua-tua."

"Horor seru tuh." Aldo mengangguk antusias.

Gue berpikir sejenak. Gue lumayan sering nonton film segala genre dan segala negara. Gue setidaknya punya dua kriteria film horor yang tidak mungkin gue pertontonkan disini:

- Film horor yang separuh film biru. Gue nggak mau ada menit-menit awkward menonton adegan cihuy-cihuy sama bos gue. Film-film macam film horor indonesia tahun 2000an sudah gue singkirkan dari populasi.
- Film horor yang nggak normal macam Human Centipede atau SAW. Gue baru makan nasi goreng enak buatan Kanaya. Sayang banget kalau gue muntahin.

"Pengabdi Setan aja gimana?" film horor karya Joko Anwar adalah yang paling masuk akal.

"Wah boleh tuh!" Aldo bangkit dengan semangat, "bentar ya, gue setting dulu TVnya biar nyambung sama netflix gue."

***

Film sudah berlalu 30 menit. Suasana sudah mulai tegang. Aldo, Eve, Kanaya, duduk paling depan dengan sofa kapasitas bertiga, karena Eve dan Aldo minus matanya terlalu tinggi. Kanaya, tadinya duduk di belakang supaya dekat Pakdhe, tapi dasar bocil, lama-lama dia ngesot ke depan karena terbawa suasana film.

Di sofa belakangnya, Mas Andri duduk bersama musuh bebuyutannya dari kemarin, Mas Danang. Gue nggak tahu kenapa, kayaknya dua manusia ini mulai merasakan getaran rasa ingin bertengkar setiap kali bersama. Tapi, kemana-mana juga mereka sekarang berdua, mirip Sasuke dan Naruto. Mereka sama-sama fans emyu ternyata. Saat ini, mereka sedang nonton cuplikan liga bola dari handphone Mas Danang, sambil makan kuaci.

Sisanya di kursi agak belakang, ya cuma gue dan Pakdhe. Orang-orang babi semuanya. Gue kena apes melulu berdua sama orang ini. Mau duduk dibawah, aneh, nanti malah dikira gue kenapa-kenapa sama Pakdhe.

Gue memeluk boneka penguin yang tadi gue bawa dari kamar, ketika adegan mulai mencekam. Aldo membesarkan suara TV, sehingga efek seram khas Joko Anwar terdengar makin jelas.

"Pinjem dong." tiba-tiba Pakdhe merebut Pipi - si boneka pinguin dari pelukan gue. Konsentrasi gue ke adegan seram buyar seketika. Gue berusaha merebut Pipi yang dimainkan bapak-bapak iseng itu.

"Liat nih, dia bisa terbang. Wii ..." Pakdhe mengangkat tinggi-tinggi tangannya sambil tertawa melihat gue yang nggak bisa meraih Pipi. Gue yang lebih mini dari dia jelas cuma bisa menggapai-gapai, jadi mirip kayak bocil yang mainannya direbut sama anak-anak nakal.

"Balikin nggak?!" gue berbisik sambil mengancam, takut berisik dan mengganggu yang lain nonton.

"Dih, orang dia lagi hepi, bisa terbang. Ett ... Turbulensi nih." Pria itu menggoyang-goyang tangannya yang masih diangkat tinggi-tinggi sambil tertawa.

"Pipiiii!!" gue sedikit meloncat. Tanpa gue sangka, Pakdhe bangkit dan berlari ke luar pintu halaman tengah.

Gue reflek mengejar si bos kekanakan itu dengan jengkel, keluar pintu halaman tengah. Di halaman tengah itu ada sedikit kanopi yang menghalangi air hujan. Gue sibuk mengejar Pakdhe yang berlarian di sepanjang kanopi sambil tertawa-tawa puas. Gue sempet ngeh, orang-orang yang masih nonton sempat menoleh ke kami berdua, lalu geleng-geleng kepala.

Gila, ini si badut nggak punya malu apa gimana sih?!

"Lu mau liat dia renang gak?" Pakdhe mengambil ancang-ancang, siap melempar Pipi ke kolam renang.

"Mas Tioooon!!!!"

"Gue lempar nih! Hahahaha!"

Gue capek. Gue akhirnya hanya terduduk di lantai membiarkan dia yang masih meledek gue sambil terus pura-pura melempar Pipi. Saking jengkelnya, airmata gue tiba-tiba keluar gitu aja. Lu tahu kan, kalo lu jengkel setengah mati, tiba-tiba dada lu sesek banget, bukan karena sedih tapi karena marah.

Pakdhe yang sadar gue tiba-tiba duduk, mukanya berubah khawatir. Mungkin dipikirnya gue darah rendah atau apa. Ia menurunkan tangannya yang masih menggenggam Pipi, lalu perlahan mendekati gue yang menutup muka dengan kedua telapak tangan.

"Oi. Lu sakit?" Pakdhe berjongkok dan mencoba mengintip muka gue.

Gue diem aja. Suara sesenggukan nggak bisa gue tahan.

"Heh? Lu nangis, Sha? Sumpah lu nangis beneran?"

Gue, yang katanya wanita independen 28 tahun, akhirnya nangis sesenggukan. Cuma gara-gara diledekin bos gue pake boneka pinguin, yang mungkin bos gue sendiri umurnya diatas 40 tahun.

Kurang kocak apa hidup gue.

***

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang