84 - An Open Ending

5.8K 460 71
                                    

(Last chapter before epilog)

Author's Note: Upload mumpung sempet wkwk.

***

"You know what, Sha?" Pakdhe membuka suara lagi. "Setelah gue pikir-pikir, dan mempertimbangkan lu yang kayaknya sesayang itu sama gue, gue bakal bikin satu perjanjian sama lu."

Gue mendongak, mencoba menahan airmata gue.

"I will let you love me. Lu boleh suka sama gue, sampai lu ketemu orang yang tepat buat lu." ia menghisap rokoknya sejenak. "Tapi lu harus tetep usaha cari orang lain."

Mata gue membulat nggak percaya.

Apa tadi? Si Cangcorang ini bilang apa? Ini beneran gue nggak budek?

"Beneran?"

Pakdhe mengangguk. "Tapi kita nggak ada hubungan apa-apa. You know, gue trauma. Gue cuma akan jagain lu, sampai lu ketemu orang yang bener-bener tepat buat lu."

"Tapi ... Kalau nanti saya ketemu orang itu, saya bakal ninggalin Mas?"

Ia terkekeh. "Ya kan memang begitu tujuan gue. Dont mind me. Kayaknya gue juga masih belum move on, jadi aman aja kalau itu terjadi."

"Tapi Mas inget juga kan, orang bisa move on kalau udah ketemu cinta yang baru." gue menelengkan kepala sambil memamerkan senyum termanis gue. "Kalau Mas jatuh cinta sama saya, Mas bisa move on dong dari trauma Mas?"

"Coba aja." tantangnya dengan muka sombong. "Tapi susah lho bikin gue jatuh cinta lagi. Tunggu aja, mana yang lebih dulu. Lu ketemu orang yang lu suka selain gue, atau gue yang sembuh dari trauma."

Gue sedih ngedengernya, tapi rasa seneng gue kayaknya lebih gede. Itu artinya, sekarang gue beneran boleh sayang sama dia? Gue nggak usah nahan-nahan lagi perasaan gue ke dia, kan?

"Beneran tadi Mas bilang saya boleh suka sama Mas?"

Ia mengangguk. "Tenang. Gue tepatin janji gue."

"Kalo gitu saya boleh peluk Mas?"

"Hah?"

Baru kali ini gue ngeliat Pakdhe membatu. Gue juga membatu sesaat gara-gara mulut cablak gue.

Tapi kali ini gue mendukung penuh lambe turah gue, karena gue jadi bisa ngeliat pemandangan langka: Pipi pria itu sedikit memerah. Gue menjerit girang dalam hati

Sumpah demi apa?! Pakdhe akhirnya tersipu, dan itu gara-gara gue!

Ia memicingkan matanya. "Apa lu bilang tadi? Lu nggak inget gue bos lu?"

Gue menggeleng. "Boleh nggak? Kan Mas udah janji."

"Lu nggak takut meluk om-om? Nanti lu gue apa-apain." katanya sengaja nakut-nakutin.

Gue masih menggeleng. "Mas Tion nggak mungkin ngapa-ngapain."

Ia menarik nafas panjang, lalu mengusap kasar wajahnya yang makin memerah. Gue deg-degan setengah mati, rasanya kayak mau pingsan nunggu reaksinya bakal gimana.

Setelah beberapa saat, Pakdhe akhirnya bangkit dari kursinya. Sedetik kemudian, tanpa kata-kata, ia merentangkan tangannya.

"Jangan bilang siapa-siapa."

Tanpa aba-aba, gue melompat menyambar tubuh Pakdhe dengan riang, lagi-lagi sampai pria itu sedikit terhuyung. Gue membenamkan dalam-dalam muka gue ke dada bidangnya yang hangat, ternyata rasanya memang sehangat dan senyaman itu. Bahkan jauh lebih nyaman daripada pelukan di rumah sakit waktu itu.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang