43 - Ra-ha-si-a

3.1K 353 24
                                    

Cerita hari ini, aneh. Gue nggak tahu kalian sadar atau nggak, tapi gue merasa Pakdhe masih misterius banget. Nggak ada yang tahu dia sebenernya siapa, selain jati dirinya sebagai Jatmiko G. Nasution - senior manajer 3 di kantor konsultan yang agak gila. Dia orang yang gue nggak tahu latar belakang keluarganya sama sekali. Dia juga orang yang bener-bener jarang cerita tentang kehidupan pribadinya.

Dan dia orang yang entah kenapa ... bikin gue penasaran.

***

"Sha, lu lagi ciuman sama gue itu."

"Hah?"

Pakdhe menoleh ke arah gue dengan muka datar. "Lu ciuman sama gue. Itu yang lu pegang, tadi gelas bekas gue."

Tangan gue nge-freeze, gelas putih yang sudah menyentuh bibir gue nggak jadi mengalirkan air di dalamnya. Bibir gelas bergambar bendera partai itu beneran udah nempel banget di bibir gue.

Apa tadi si kadal bilang? Ini gelas bekas dia? Jadi maksudnya gue ciuman nggak langsung sama dia?

Persetan. Gue cuek aja. Lanjut meneguk air putih yang tadi nggak jadi mengalir di kerongkongan gue. Untung banget, gue ikut dia udah lama. Udah hafal gue tabiat otaknya kalo jam segini, udah konslet, apalagi seharian tadi dia habis meeting sama komite audit klien. Kalau lagi stres dan mendekati jam pulang, emang suka begitu dia. Pikirannya suka kayak lagi mabok ciu.

"Apa sih, Mas. Orang gelas ini saya ambil baru, di lemari pantry tadi." sahut gue santai, sambil mengisi ulang gelas dengan air dispenser.

Pakdhe mengangkat bahu. Ia bersandar di kulkas pantry, mengamati gue yang sedang mengisi ulang air sambil mengaduk-aduk gelas berisi kopi di tangannya. "Tapi tadi pagi gue pakai gelasnya. Emang lu yakin itu udah dicuci?"

"Mas Tion, kalau gelasnya belum dicuci, ngapain OB naroh di dalem lemari."

"Emang lu yakin OB nyucinya pake sabun?"

"Ya pake sabun, lah, masa pake duit. Emangnya nama baik, dicucinya pake duit?"

"Sabunnya merek apa, coba."

Gue menyipitkan mata. Kalau ini lagi waktu-waktu biasa, mungkin gue udah salting berat waktu dia bilang kita ciuman. Tapi ini gue lagi inget, sekarang jam-jam otaknya lagi teler. Capek banget nggak sih lu punya bos kayak gini. Saking jeniusnya, otaknya suka konslet.

"Mas mendingan pulang dulu, yuk. Istirahat. Udah jam tujuh." gue tersenyum sarkastik sambil beranjak berjalan ke arah pintu pantry, buru-buru mau keluar. Meninggalkan Pakdhe yang masih bersandar di kulkas sambil memandangi gue.

Agak serem juga gue cuma berduaan sama dia disini, disaat kantor udah sepi dan otaknya lagi nge-fly. Gimana-gimana tetep takut gue, dia kan tetep laki-laki dewasa. Segala kemungkinan ada, mulai dari pelecehan seksual sampai dia berubah jadi psikopat (mana kita lagi di pantry, ada benda-benda tajam).

Kecuali dia tiba-tiba jadi pohon pisang, baru gue santai.

"Sha." panggilnya. "Tunggu dulu."

Aduh, bodo amat. Cuekin aja. Gue lanjut membuka pintu pantry dan melangkah keluar.

"Natasha."

Bodo amat, bodo amat.

"Gimana caranya nolak orang?"

Gimana?

Langkah gue otomatis berhenti. Gue mematung sebentar, sejengkal di depan pintu keluar. Berusaha memproses apa yang Pakdhe tanya barusan.

Gue mundur mendekati pintu sampai gue bisa melihat Pakdhe lagi. Pakdhe menatap gue dengan mata yang seratus persen kelihatan bingung. Kayak mata lu pas lagi ujian, temen-temen lu kayak monyet semua, nggak ada yang mau bagi jawaban, trus bingung mau jawab apa.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang