Writer's Note:
Bab kali ini isinya nggak ada intinya 😂 cuma obrolan si Tasha sama Pakdhe. Semoga rasa penasaran kalian tentang background si Pakdhe ada yang sedikit tercerahkan ya 😁 Tapi even Tasha juga susah banget nguliknya, jadi tetep semangat ya Sha!
Makasih juga ya vommentnya. Semoga tetep terhibur sama cerita mereka, ya! 😊
***
"Menurut lu, kucing pernah keseleo nggak sih?"
Nggak. Gue udah nggak kaget, dan udah nggak nanggepin lagi pertanyaan-pertanyaan ala orang habis nyimeng dari bos gue. Gue tetep fokus merapikan dokumen-dokumen hardcopy di meja sambil memasukkannya ke dalam ordner. Pengalaman archive mepet-mepet kemarin bikin gue sadar kalau yang gini-gini emang mesti dikerjain nyicil dari awal.
Sementara Pakdhe, duduk santai di kursi Eve sebelah gue. Laptop dia katanya lagi diservis di IT, makan waktu beberapa jam katanya. Entah apa karena dia merasa nggak punya temen, dia tadi datang ke meja gue dan Eve, cari temen. Sialnya, si Eve lagi sakit. Jadi dia cuma ketemu gue aja.
Sekarang lagi asik sendiri main melipat kertas. Iya, melipat kertas. Origami. Pakai kertas hasil report yang ga kepake di meja Eve. Udah, biarin aja, biarin dia seneng. Yang penting nggak ngeganggu dan nggak tantrum.
Tapi ngeganggu sih tetep, ya. Ya lu baca aja tadi dia nanya apaan ke gue.
"Mending Mas nungguin servis laptopnya di ruangan Mas aja, deh." gue masih belum menoleh ke dia. Ntar dia makin menjadi kalau ditanggepin. "Disini kan mejanya berantakan. Saya lagi ngurusin archive soalnya."
"Kucing kan punya kaki juga, sering lompat-lompat juga. Tapi kenapa cuma manusia yang bisa keseleo, ya?"
"Mas, balik aja deh ke ruangan Mas."
"Lu nggak penasaran, Sha?"
"Enggak."
"Kok bisa?"
Gue berhenti sejenak sambil menghela nafas panjang, lalu sedetik kemudian mengusap kasar muka gue dengan kedua tangan. "Mas, mendingan Mas ngapain, deh. Cari kegiatan lain. Saya masih ngerjain ini."
"Gue lagi berkegiatan ini. Sibuk tau." Pakdhe cuma mengangkat alisnya tanpa menoleh ke gue, sambil sok-sokan serius meneruskan lipatan kertas di tangannya. "Sibuk bikin pesawat, Sha."
"Bodo amat."
"Pesawat telepon."
"Serius?!" Gue reflek menoleh kepo karena nggak tahu kalau ada teknik lipat kertas jadi pesawat telepon.
Pakdhe nyengir lebar tanpa dosa, kelihatan seneng waktu gue akhirnya ngeladenin dia. Yang di tangannya ternyata cuma pesawat kertas biasa. Dongkol gue udah sampe ubun-ubun, meresap sampe tulang sumsum. Dia bohongin gue karena cuma pengen direspon aja. Sumpah, kalau dia berubah jadi bocil anak tetangga gue, kayaknya bakal gue jewer sampai nangis trus ngadu ke mamaknya.
Kok ada ya manusia kayak gini di dunia? Jadi bos gue, pula.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Dalam hati gue lega setengah mati, akhirnya perhatian dia teralihkan ke ponsel itu. Yang nggak gue duga, emang sih dia angkat teleponnya. Tapi dia loudspeaker. Jadi gue dipaksa dengerin percakapan dia sama orang seberang sana.
"ABAAAAANGGG!!!"
Pakdhe tersentak mendengar suara cempreng Kak Gayatri dengan volume handphone yang hampir 80% itu. Dengan panik, laki-laki itu langsung sigap menurunkan volume handphonenya. Gue yang juga kaget sempat melirik ke belakang, ada beberapa orang di workspace yang sampai menoleh sekilas ke arah kami gara-gara teriakan Kak Gayatri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pakdhe!
ChickLitKalau kata Raditya Dika, manusia di dunia itu cuma bisa punya dua diantara tiga kelebihan : 'cakep', 'pinter', atau 'waras'. Bos gue di kantor, alias Mas Tion, alias Pakdhe, hanya punya kelebihan 'cakep' dan 'pintar'. Artinya, dia sinting, annoying...