66 - Preman

2.9K 377 31
                                    

Writer's Note:

Maaf yaa updatenya nggak sesering dulu 😭 tapi alasannya sih kayak yang pernah aku bilang, bulan2 ini mulai masa sibuk 😂 lagi ngeladenin Pakdhe dan klien di dunia nyata.

Makasih banyak yaa yang udah pada nungguin, luv banyakk ❤️🐒

***

Mas Danang masih tampak menawan di mata gue pagi itu.

Gue nggak mau munafik, kadang masih agak deg-degan ngeliatin dia kalau lagi berduaan di ruangan gini. Setelah kejadian gue patah hati, sayangnya kerja adalah kerja. Mau nggak mau, gue masih harus kerja sama dia selesein proyek-proyek yang ada.

Dan gue masih terpesona ngeliat tampang kalemnya dengan kacamata dan kemeja biru muda lengan panjang hari ini. Tapi nggak kayak dulu, gue cuma mengagumi aja. Nggak ngarep.

"Sha, kayaknya buat isu ini, kita butuh diskusi sama Mas Tion, deh." pria itu menunjukkan sheet excel di layar komputer besar. "Saya agak ragu gimana solusinya buat yang ini. Biasanya Mas Tion selalu punya ide bagus."

Bibir gue agak merengut. Jujur aja, sebenernya sejak kejadian tampar menampar kemarin, gue selalu menghindar setiap ketemu Pakdhe. Misal, kalau gue mau ke pantry, gue selalu ambil jalan muter supaya nggak lewat zona di ruangannya. Kalau mau ngeprint dan ada Pakdhe yang lagi pakai printer di deket gue, gue memilih muter-muter cari printer lain daripada ngantri di belakangnya. Kalau nggak sengaja papasan, gue puter balik. Nggak peduli dia bingung kenapa gue puter balik.

Malu gue. Malu udah ngelus pipinya, abis itu gue gaplok. Meskipun Pakdhe sih nggak komen apa-apa. Tapi justru itu, mendingan dia ngomel kayak biasa daripada diem-diem bae! Kan gue jadi overthinking!

"Liatin Mas Tion dong, Sha, ada di ruangannya nggak?"

"Anu ..." gue memutar otak supaya nggak kesana, "Better habis maksi aja nggak Mas? Takutnya diskusi kita kepotong maksi."

Mas Danang melirik jam di komputernya. "Maksi masih dua jam lagi, Sha. Lagian takut Mas Tion keburu sibuk kalo udah siang. Harusnya cepet kok, nggak usah lama-lama."

Belum sempet gue mengucapkan pembelaan gue yang kedua, tiba-tiba terdengar suara pintu ruangan di belakang gue terbuka. Gue udah beku, karena biasanya yang keluar masuk ruangan Mas Danang itu Pakdhe. Jantung udah dag dig dug waktu suara langkah terdengar mendekat ke arah kami. Otak gue udah sibuk memikirkan tanggapan apa kalau-kalau mulut jail Pakdhe berulah lagi di depan Mas Danang.

"Danang! Tahu kenapa Tion nggak mau naik lagi tahun ini?!"

Gue menoleh karena suara yang muncul bukan raspy voice milik si Pakdhe. Yang berdiri di sebelah gue adalah laki-laki gemuk tinggi dengan kacamata dan setelan jas formal. Bukan cuma gue, Mas Danang juga keliatan kaget melihat pria itu berdiri di hadapannya. Tiba-tiba posisi duduknya langsung jadi tegap kayak peserta upacara.

Soalnya pria itu ternyata adalah Pak Damar. Iya, si bos besar super galak yang pernah gue ceritain di episode sebelumnya.

"N-naik?" gue tau Mas Danang sebisa mungkin membuat suaranya stabil. "Naik, naik apa, Pak?"

"Puncak gunung, dong."

"Ooh ... hah?"

BRAK! "PROMOSI, DONG, DANANG!!"

Gue dan Mas Danang memekik sambil meloncat kaget barengan mendengar gebrakan meja dari Pak Damar, persis kayak adegan di film kartun. Kami berdua sama-sama pucet melihat Pak Damar yang mulai kembali ke setelan pabriknya, muka yang tadinya gemoy berubah jadi settingan buto ijo.

Pakdhe!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang