"Papi... Bangun..." Ucap Armano dengan suara yang cukup serak karena menangis sejak tadi
Alvaro membuka matanya, merasakan silau menyambutnya. Dia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum meringis saat kepalanya terasa sakit. Seketika itu juga Alvaro teringat pada putranya yang tadi nyaris terjatuh, dia ingat dia berlari untuk menangkap putranya entah dia berhasil atau tidak
"Arman..." Panggil Alvaro yang tiba-tiba mendudukan dirinya lalu, meringis saat kepalanya kembali berdenyut nyeri akibat pergerakan mendadak yang dia buat
"Papi...." Panggil Armano sambil memeluk perut ayahnya dengan erat. Armano menarik kaus ayahnya dengan erat kepalanya dia lesakan ke perut ayahnya
"Arman?" Panggil Alvaro heran
Alvaro menjauhkan Arman darinya dan mengecheck keadaan putranya
"Arman baik-baik saja? Tidak ada yang luka?" Tanya Alvaro dengan suara amat serak
Armano mengangguk dan masih menangis sesenggukan. Alvaro memeluk putranya erat-erat
"Syukurlah... Syukurlah kamu baik-baik saja" ucap Alvaro lega
Armano semakin menangis mendengar ucapan ayahnya. Dia memeluk leher Alvaro dengan erat dan terus meminta maaf pada ayahnya
"Bukan salah Arman, papi pasti akan menyelamatkan kamu, kak Ardan ataupun Arsen kalau kalian bertiga dalam bahaya. Jangan nangis lagi" ucap Alvaro nyaris berbisik karena tenggorokannya cukup sakit untuk berbicara
"Maafin Arman papi. Arman nakal. Maaf" pinta Armano
Alvaro mencium pipi Armano dan mengusap punggung putranya
"Papi nggak pa-pa kok, cuma tadi papi ngantuk jadi papi tidur. Jangan nangis lagi ya, papi nggak apa-apa. Jangan takut" hibur Alvaro sambil mengusap air mata putranya
Armano menangguk kecil
"Maafin papi ya kak" ucap Alvaro pada Armano
"Papi nggak sengaja membentak kakak, maafin papi" ucapnya lagi
Armano mengangguk dia memeluk ayahnya lagi. Hanya sebentar karena Alvaro langsung menjauhkannya. Hal itu membuat Armano mengira ayahnya masih marah dan sontak saja mata Armano kembali berkaca-kaca
"Eh... Jangan nangis"
"Tapi, papi masih marah sama Arman"
"Nggak kok, papi nggak marah sama kakak"
"Arman nggak boleh peluk"
"Bukan gitu kak. Nanti kakak ikut sakit kalau dekat-dekat sama papi. Kakak jangan peluk papi dulu ya. Sampai papi sembuh. Papi nggak mau kak Ardan, kakak, sama Arsen sakit. Biar papi aja yang sakit, kalian jangan"
"Tapi pi..."
"Papi nggak apa-apa. Papi cuma harus istirahat terus, nanti papi sehat lagi. Nanti kalau papi sudah sehat, kita jalan-jalan ya. Tapi, sekarang kakak jangan deket-deket papi dulu, nanti ketularan"
"Cepet sembuh papi" ucap Armano
"Arman sayang papi" lanjutnya
"Papi juga sayang kakak, kak Ardan, Arsen dan mami"
Armano turun dari ranjang ayahnya dan berjalan ke kamarnya. Bersamaan dengan Allecia yang masuk ke kamar itu dengan semangkuk bubur hangat dan air hangat
"Ayo makan dulu" ajak Allecia
"Pelan-pelan aja. Jangan banyak ngomong dulu, nanti tenggorokannya makin sakit" ucap Allecia lagi
Alvaro memakan bubur di mangkuk itu dengan perlahan. Setelah makan, dia meminum obat yang diberikan Vale untuknya. Lalu dia kembali berbaring
"Kepalanya masih sakit?" Tanya Allecia sambil mengusap rambut Alvaro
Alvaro hanya mengangguk sambil menggerakan jarinya membentuk sesuatu berukuran kecil yang artinya sedikit
"Untung nggak benjol. Kalo benjol lebih sakit pasti. Terus tadi pas kamu belum bangun, Arman ketakutan banget"
Alvaro mengangguk. Dia menarik Allecia untuk berbaring disisinya. Dia memeluk istrinya dengan erat. Sesekali tangannya mengusap rambut istrinya dan bibirnya mengecupi puncak kepala istrinya. Alvaro tahu kalau sebenarnya Allecia pasti sama takutnya dengan Armano saat dia belum bangun tadi. Karena itu, Alvaro mengusap rambut Allecia, memberikan istrinya ketenangan
"Jangan bikin aku takut kayak tadi!" Cicit Allecia
Alvaro mengangguk dan berdeham. Allecia memeluk Alvaro lebih erat, merapatkan diri pada suaminya. Menghirup wangi suaminya dalam-dalam sampai tanpa sadar dia jatuh terlelap. Alvaro menunduk dan mendapati istrinya tertidur
"Maaf sayang. Selamat tidur, mimpi indah" ucap Alvaro
KAMU SEDANG MEMBACA
From Me To You
Teen FictionAllecia tak pernah meminta apapun selama hidupnya, keadaan membuat dia harus mengalah pada kembarannya. kasih sayang seluruh keluarga tak pernah terasa untuknya. benci? jelas Allecia seharusnya benci pada kembarannya. Kesal? tentu dia kesal "bunda d...