"Apa boleh?" Pertanyaan yang lolos dari mulut Allecia membuat semua orang yang tadi tersenyum kini mendadak diam dan menatap ke arah anak itu. Bahkan Agatha saja kini sudah melepaskan pelukannya dan menatap Allecia
'Sepertinya gue salah bicara lagi... Mereka pasti semakin membenci gue sekarang' batin Allecia
Allecia mengunci rapat-rapat mulutnya. Dia masuk ke tempat yang sudah dia tinggalkan sebelumnya. Dia seolah masuk ke dalam sarang musuh tanpa persiapan dan perlindungan. Tidak ada Alvaro yang akan melindunginya dan itu sedikit membuat Allecia takut
'Kalau mereka melakukan hal yang sama kembali, tidak akan ada orang yang membela gue sekarang' pikir Allecia
Pelukan hangat ia dapatkan dari seseorang yang belakangan ini dia kenali wanginya dengan baik. Pelukan hangat itu melunturkan semua ketakutan Allecia dan membuatnya merasa aman dan nyaman
"Tentu boleh. Kamu anak ayah. Kenapa tidak boleh? Ini rumah kamu. Sampai kapan pun akan menjadi rumah kamu" ucap Varell dengan lembut
Allecia mengangguk kecil di pelukan ayahnya. Dia membalas pelukan itu dengan erat. Varell tersenyum melihat anaknya
'Andai sejak dulu aku seperti ini, mungkin sekarang aku tidak akan merasakan penyesalan yang mendalam seperti sekarang. Sekarang setiap melihat senyuman Allecia atau pun raut khawatir dan takutnya membuat aku benar-benar menyesal sudah menjadi ayah yang buruk baginya' batin Varell
Varell melepaskan pelukannya dan menangkup pipi putrinya dengan telapak tangannya yang besar dan hangat, dia mengusap pelan pipi putrinya
"Ayo kesana" ajak Varell
Allecia mengangguk. Varell merangkul bahu Allecia, mengajaknya ke tempat dimana opa dan oma Allecia sudah menunggu bersama dengan Alexander
"Cucu oma" sapa Lucy dengan senang. Dia langsung memeluk Allecia
"Oma"
Alexander tidak mau ketinggalan dia memeluk dan bahkan menggendong Allecia dalam dekapannya
"Kakak... Sudah..." Ucap Allecia saat Alexander berputar dengan dirinya masih dalam gendongan Alexander
"Kakak senang kamu sudah pulang" ucap Alexander saat menurunkan Allecia
"Siapa yang minta izin pada Varo?"
"Ayah. Ayah minta izin pada mertua dan suamimu untuk meminjammu selama seminggu"
"Lalu anak-anak aku?"
"Mereka diurus sama Varo"
"Kasian Varo dong kak kalo kayak gitu. Dia kan harus kerja kak"
"Ya abis gimana? Ayah mau memonopoli kamu selama seminggu"
"Ya tapi kan-"
"Terima aja. Seenggaknya agar ayah tidak semakin lama menanggung bebannya"
"Beban?"
"Iya. Beban bersalah padamu. Ayah selalu menyesal dan merasa bersalah padamu"
Allecia jadi terdiam. Dia tidak menyangka kalau ayahnya sebegitu sayang padanya. Padahal, ayahnya tidak pernah membelanya atau sekedar ada untuknya
"Al ke toilet dulu" ujar Allecia
Allecia pergi ke toilet dan setelah selesai dia bertemu bi Wati. Pembantu yang dulu menyayangi dia seperti anaknya sendiri
"Bi" panggil Allecia
"Iya non?"
Allecia tersenyum dan memeluk bi Wati. Bi Wati sendiri kaget sebelum menyadari orang yang memeluknya adalah Allecia
"Non Al apa kabar?"
"Baik bi. Bibi sehat?"
"Sehat non"
"Makasih bi, bibi sudah merawat kamar Al walau Al nggak tinggal disini lagi"
Alis Bi Wati mengkerut heran. Sebelum bi Wati mengangguk pelan
"Bukan bibi non. Tapi, tuan"
"Ayah?"
"Iya. Sewaktu non keluar, tuan mengunci kamar non rapat-rapat. Tidak ada yang boleh masuk. Tuan yang pegang kuncinya. Terus pernah malam-malam bibi lihat tuan ada di kamar non sambil baca buku di laci meja non"
Allecia terkejut. Dia benar-benar tidak menyangka. Dengan cepat Allecia kembali ke taman, mencari sosok ayahnya yang malah tidak ada
"Kak Marco, ayah mana?" Tanya Allecia
"Om Varell keluar tadi"
Allecia berlari keluar. Mencari ayahnya dan menemukan ayahnya tengah berbincang melalui telepon. Tidak lama, bahkan sebelum Allecia sampai, ayahnya sudah kembali memasukan ponselnya ke dalam kantung celananya
"Al?" Panggil Varell heran. Sebab saat dia berbalik hendak kembali ke taman, dia malah dipeluk erat oleh Allecia
"Ada apa?"
Allecia diam
"Bunda memarahimu?"
Allecia menggeleng
"Lalu?"
Allecia diam sebelum berucap. "Apa ayah menyayangi Al?"
Varell memeluk putrinya erat. "Sangat. Ayah sangat amat menyayangi kamu"
"Sejak kapan?"
"Kenapa kamu bertanya begitu?"
Allecia mendongakan kepalanya menatap sang ayah
"Sejak kapan ayah?" Rengek Allecia
Varell mengusap pipi putrinya. Dia sudah sangat merindukan saat-saat dimana dia bisa mengusap kembali pipi putrinya
"Sejak hari pertama kamu menangis keras saat terlahir di dunia ini. Malah, sejak minggu pertama kamu ada di perut bundamu" jawaban Varell membuat airmata Allecia mengalir
"Ayah..."
KAMU SEDANG MEMBACA
From Me To You
Teen FictionAllecia tak pernah meminta apapun selama hidupnya, keadaan membuat dia harus mengalah pada kembarannya. kasih sayang seluruh keluarga tak pernah terasa untuknya. benci? jelas Allecia seharusnya benci pada kembarannya. Kesal? tentu dia kesal "bunda d...