Pandangan lelaki berumur itu bersirubuk dengan gadis yang tengah melayaninya. Lalu ia kembali mengedarkan pandangannya pada ruangan berukuran dua puluh kali dua puluh meter dimana ia berdiri saat ini. Kesan sederhana namun penuh kehangatan. Suasana klasik terasa kental dengan hiasan sepeda kuno. Di sudut selatan terdapat peralatan musik yang belum dimainkan, pemutar piringan hitam terongok rapi di atas meja ukir berbahan katu jati. Kayu yang sengaja diimpor dari negara tropis di kawasan Asia Tenggara. Wallpaper bermotif bunga daisy kecil menambah kesan cerah, vintage. Sangat memenuhi seleranya selama tiga hari berturut-turut ia mengunjungi tempat ini. Daisy Classy, kedai roti yang bernama seperti bunga yang menghiasi tiap sudutnya.
"Pesanan anda, Tuan." Senyum tulus dipamerkan gadis itu dengan suara sapaan yang sopan sesuai standar operasional prosedur yang diberlakukan toko roti milik Janice. Toko roti yang menghiasi salah satu jalanan kota Itaewon. Kota multiculture Korea Selatan dengan perpaduan suasana kebaratan di sana.
"Terima kasih."
Satu dus donut perasa mocca, cinnamon dan blueberry telah terbungkus rapi bersama dua cup darjeling tea akan menjadi teman perut yang terasa kelaparan semenjak ia –sang lelaki berumur, dengan hidung lurus, surai yang hampir sepenuhnya putih, memakai coat abu-abu berusaha merapatkan dirinya di tengah udara dingin, menginjakkan kaki di kota ini.
"Sama-sama. Silakan mampir lain kali, Tuan."
Lelaki berumur itu ikut membalas senyum. "Panggil saya Abram." Tuan Abram berdehem kecil, lalu menyunggingkan senyum khas lelaki keturunan Korea-Kanada yang hampir separuh hidupnya dihabiskan di kota Toronto.
"Oh, iya Tuan Abram. Senang berkenalan dengan anda."
"Putraku menyukai donut perasa cinnamon ini. Aku penasaran, siapa yang membuatnya?"
Gadis itu mengulum senyum. Jemarinya menyapu konter dengan serbet bersih. "Bagaimana jika saya mengatakan sayalah yang membuatnya?"
Tuan Abram menaikkan alisnya, sedikit terkejut dengan kepercayaan diri gadis yang ia perkirakan berusia dua puluh dua tahun ini. "Really, anda yang membuatnya?"
"Sepertinya iya, Tuan."
"Ah kenapa tidak yakin seperti itu?"
Lagi, gadis itu masih mengulum senyum. Wajahnya tirus, sedikit lebih pucat dengan polesan lipbalm pink, surainya dikuncir rapi berbalut harnet. "Karena donut ini tidak hanya saya saja yang membuatnya. Bisa jadi donut buatan kawan saya yang sekarang telah berpindah ke dalam dus cantik itu."
Tuan Abram tergelak kecil. "Jadi ini hasil kerjasama kalian, begitukah?"
Gadis itu mengangguk lagi, tetap mempertahankan keramahannya. "Saya bahkan berani bertaruh, anda akan kembali ke kedai ini setelah mencoba resep terbaru kami."
"Oh, menarik sekali. Yang mana?" Tuan Abram menilik kembali etalase berhias bermacam donut beraneka rasa.
"Bukan donat. Tapi ini..," gadis itu menggiring pandangan Tuan Abram bergeser ke arah timur etalase. "Appeltaart dengan krim perasa cinnamon, sedikit gula agar tidak menghilangkan aroma asli dari kayu manisnya."
Tuan Abram mengerjap, tidak butuh waktu lama baginya memutuskan akan membelinya. "Bisakah anda membungkusnya untuk saya?"
"Dengan senang hati."
Tuan Abram menatap dengan seksama ketika jemari lentik gadis di hadapannya mengambil dengan cekatan, memasukkan sang appeltaart dalam dus berwarna hitam berlabel berukuran sepuluh kali sepuluh. Satu-satunya yang tersisa di hari ke dua puluh diluncurkan.
"Anda pasti akan kembali lagi ke sini, Tuan Abram."
"Nice, saya mungkin akan kembali lagi jika memang kue ini melebihi ekspektasi saya."
Gadis itu kembali tersenyum cerah. Sebuah gift bagi Tuan Abram setelah satu bulan mengelilingi Itaewon dan belum mendapatkan makanan yang menggugah selera makannya. Lalu ketika ia terjebak dengan suasana vintage Daisy Classy, ia seperti kembali pada masa mudanya. Alunan musik jazz dan bossanova memanjakan pedengarannya.
"Ah iya, jika saya kembali lagi ke sini, bolehkah saya tahu nama anda, nona?"
Tangan Tuan Abram terulur menerima uang koin kembalian dari sang gadis.
"Anda bisa memanggil saya Yerim atau Rim."
Ah, semudah itu. Tuan Abram tersenyum, sebelah tangannya mengambil bungkusan lalu ditentengnya. "Jika saya bertemu lagi, bisakah saya memanggil anda Eve?"
Kedua alis Yerim kembali bertaut. "Eve? Nama yang cantik."
"Secantik anda, Nona Yerim."
Gadis muda itu sedikit terkejut, mendengar godaan dari lelaki berumur selayaknya sang ayah membuatnya ingin tertawa geli. "Anda pintar merayu, Tuan Abram."
"Bukan, don't get me wrong young lady!" Tuan Abram mengibas pelan jemarinya.
"Saya tidak berpikiran seperti itu, Tuan."
"Pardon. Saya hanya senang menyematkan nama itu untuk anda. Secantik itulah saya melihat anda selama ini."
Yerim meletakkan telapan tangannya di atas konter, memandang heran Tuan Abram. "Anda bukan benar-benar penduduk kota ini, sepertinya."
"Apakah sangat terlihat?" Tuan Abram menyusuri tubuhnya dari atas hingga bawah.
Yerim tergelak, meskipun ia sedikit tidak nyaman dengan obrolan sangat sopan ini, ia berusaha melayani pelanggannya dengan baik.
"Putraku yang memilihkan busana ini. Apakah aneh? Maksudku bagi penduduk di sini? Aku telah berusaha menyesuaikan." Tiba-tiba Tuan Abram melepas keformalitasan diantara mereka.
"Anda terlihat rapi," Yerim menjeda kalimatnya. "Dan tampan, Tuan!"
Tuan Abram lagi-lagi tergelak beberapa saat. "Lain kali aku akan mengajaknya ke sini."
"Siapa?"
"Putraku."
"Dengan senang hati kami akan melayani, Tuan Abram."
"Hem, aku ingin dia mengenal gadis sopan yang sekarang berdiri di hadapanku ini."
Yerim menyunggingkan senyum. Sedikit miris karena ia sedang berpura-pura saat ini. Kepura-puraan atas rasa sakit hatinya ditinggalkan Hongbin, pria yang selama ini menemaninya sepulang kerja. Kekasih yang meninggalkan dirinya demi mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri. Kehidupan yang berkebalikan dengannya, gadis biasa yang dibesarkan dengan kondisi ekonomi yang tidak berlebih. Bekerja paruh waktu demi menambah uang saku di masa kuliah semester akhir.
"Semoga keluarga anda menyukai appeltaart kami, Tuan."
"Hem, kurasa dia akan menyukainya. Aku akan mengatakan padanya jika Nona Eve yang membuatnya."
Yerim hampir tersedak tatkala mendengar rayuan Tuan Abram. Ia semakin heran mengapa lelaki tua di hadapannya ini sangat percaya diri memanggilnya dengan nama baru namun terkesan sangat bersahabat.
"Yap, kue buatan Eve untuk Adam."
"Oh, kau tahu nama putraku?"
Yerim menautkan alisnya, kembali terkesima. "Jangan katakan anda menamai putra anda dengan nama Adam?" Tebaknya.
"Kurasa aku tidak perlu mengatakannya jika tebakan anda benar, Nona Eve."
"Astaga!" Yerim ikut tertawa kecil.
"Ah, menyenangkan sekali bukan? Aku mempunyai teman baru. Seorang Eve yang membuatku bersemangat sore ini."
Yerim menggeleng pelan, "Jadi, berjanjilah pada saya Tuan Abram. Pastikan putra anda menyukai kue buatan kami. Bisakah?"
Tuan Abram tampak berpikir, lalu mengangguk berkali-kali. "I'll promise. Aku akan membuatnya tergila-gila pada kue ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Them - A Short Stories
Fanfiction[Tamat] Ini adalah kumpulan kisah tentang mereka yang mencinta. - Them | Mereka -