Sudah menjadi konsekuensi bagi Jungkook untuk tetap berada di sisi sang istri baik di saat suka maupun duka. Itulah yang kini tengah ia lakukan, mengantar Yerim untuk kembali melakukan kemoterapi. Meski waktunya tidak banyak, setidaknya ia sempatkan untuk mengantar karena pekerjaan yang ia miliki tidak memiliki cukup banyak toleransi.
"Kupikir aku tidak akan membaca novel ini lagi." Yerim membolak-balik buku setebal tiga ratus halaman yang kini berada di dalam genggamannya.
"Favoritmu kan?"
"Tahu dari mana?"
"Dari mana-mana."
Jungkook melihat sudut mata Yerim membuat kerutan akibat senyuman. Rasanya selalu menyenangkan melihat yang terkasih terlihat kuat. Selama ini mereka selalu berjuang untuk menambah digit angka hidup Yerim. Setiap detik, setiap menit, setiap jam mereka bersyukur -terlebih Jungkook, tatkala masih bisa menatap wajah Yerim dengan senyuman tulus. Perempuan itu akan mengucap terima kasih selepas membuka mata saat Jungkook berada di sisinya.
Enam bulan, angka yang luar biasa bagi Yerim yang tengah berjuang melawan kanker yang menyerangnya tanpa ampun. Ia berusaha tidak berkecil hati, masih ada pasien kanker yang bertahan hingga dua tiga tahun. Dia masih muda, Yerim yakin dengan segala upaya medis yang dilakukan, setidaknya ia masih bisa mendampingi Jungkook entah kapan Tuhan memanggilnya nanti.
"Rim."
"Iya?"
"Kudengar bayi yang kemarin ditinggal di depan sebuah swalayan di kawasan pertokoan dirawat di sini."
Yerim yang mulanya menunduk akhirnya angkat wajah. "Dari mana oppa tahu?"
"Dari suster tadi yang mengobrol di sana."
"Loh, menguping?"
Jungkook menggeleng, "tidak sengaja dengar, terus menyimak."
"Astaga." Yerim tertawa kecil. "Sudah jam satu, tidak kembali ke kantor?"
Jungkook menghela nafas panjang, sepertinya waktunya telah habis menemani Yerim. "Tidak apa-apa kutinggal?"
Yerim menggeleng, "aman, ada suster nanti yang menemaniku. Jangan lupa jemput ya."
"Oke, sayang." Jungkook mendaratkan kecupan di kening sang istri. "Aku tahu kau pejuang paling tangguh yang pernah kukenal."
"Jeon Jungkook laki-laki terkeren yang pernah kumiliki."
Sudut mata Jungkook berkerut. "Sudah pintar berkata-kata ya?"
Yerim berdecak, "lama-lama aku semakin mirip denganmu, oppa."
"Bagus itu."
-------
"Bayi laki-laki, usianya mungkin satu tahun. Padahal lucu, sehat, kenapa setega itu orang tuanya menelantarkan? Untung tidak mati kedinginan."
Yerim mendengar obrolan para suster yang kini berada di dalam satu ruangan dengannya. Kemoterapi memang tidak sakit, namun efek setelahnya yang membuat Yerim ingin segera menyudahi sesi ini. Mual, pusing, jangan ditanya seperti apa rambutnya kini. Perlahan efek kemoterapi kembali menyerang mahkota yang sempat tumbuh indah beberapa waktu yang lalu.
Tapi diantara semua sakit yang ia rasakan, selalu ada senyuman keluarga dan teman-teman yang menyemangatinya. Yerim tidak sendiri, masih banyak penderita di luar sana yang tidak seberuntung dirinya. Mengingat semua itu membuat asa hidupnya selalu berkobar, meski kadang ketakutan itu menghampiri tatkala malam tiba. Terbangun sendiri di tengah sepinya kamar, lalu menengok pada Jungkook yang tertidur pulas.
Yerim ingin menangis. Dia sangat ingin membuat Jungkook bahagia, dia ingin memiliki putra atau putri, sehingga suatu saat ketika ia tidak lagi di sisi Jungkook, suaminya itu tidak sendiri, tidak kesepian. Tapi bagaimana caranya? Dokter melarangnya untuk hamil, dan kemungkinan memiliki keturunan juga sangat tipis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Them - A Short Stories
Fanfiction[Tamat] Ini adalah kumpulan kisah tentang mereka yang mencinta. - Them | Mereka -