Bintang Kejora [7]

841 215 38
                                    

Gadis itu masih berdiri dengan pandangan bolak balik dari ponsel ke penjuru pintu kedatangan penumpang. Begitu terus hingga lehernya jadi lelah sendiri. Kata Ibu kalau menolong itu harus dengan hati yang ikhlas, Lintang berusaha sebaik mungkin menyambut tamu teman sang kakak. Dalam beberapa kali chat ia dan sang tamu, tampaknya ibu-ibu itu cukup ramah. Bahkan menawarkan mau dibawakan oleh-oleh apa dari Malang. Lintang jadi tengsin sendiri kalau mau jawab minta Malang strudle. Karena belum kenal betul ya terpaksa menolak, tidak perlu dibawain apapun. Yang penting ketemu, anter, kembalikan ke stasiun dan tugas selesai.

"Duh, yang mana ya?" Lintang mondar mandir, menelusuri wajah setiap penumpang yang keluar dari pintu kedatangan. Siapa tahu si ibu pakai filter ponsel terlalu pintar sehingga besar kemungkinan berbeda dengan wajah aslinya kan? Akhir-akhir ini sering loh kejadian bertemu dengan aslinya ternyata jauh dari foto profil di dunia maya.

Halah! Lintang malah mikir ke mana-mana.

Ibu di mana? Saya menunggu di dekat pintu, kemeja warna biru, rambut dikuncir, wajah sama persis seperti di foto profil.

Setelah menekan kirim, Lintang melihat centang dua biru, artinya langsung dibaca. Masih menatap ponsel, Lintang menggigit bibir bawah sembari menunggu dan masih celingukan.

Sumpah ya, penumpang mulai sepi, tapi yang dicari tidak juga tampak. Ditambah, "kok di-read aja sih?" Protesnya.

Tanpa gadis itu sadari, ada langkah seseorang mendekat. Wajahnya tertutup masker hitam dengan rambut sedikit berantakan. Kaosnya kedodoran berwarna putih dengan celana jeans dan sepatu sneakers. Tas ransel corak army bertengger di dua pundak. Berdiri tepat di hadapan Lintang, hanya berjarak satu meter, ia belum mau menurunkan masker yang menutupi sebagian wajah. "Hai, Tang." Sapanya.

Mata Lintang membulat mengerjap, segera mengangkat wajah, dia dibuat terkejut dengan sosok menjulang di hadapannya. "Iya?"

Adik iparnya Adiatma tersenyum dari balik masker. "Assalamu'alaikum."

Alis Lintang bertaut, "wa'alaikumsalam, siapa ya?"

"Eh iya lupa." Masker buru-buru diturunkan, terlihat senyum mengembang menyambut wajah bingung Lintang.

"Om...Omar? Kok di sini?" Lintang spontan bertanya.

"Iya," Omar tersenyum kian lebar, rasanya senang sekali melihat wajah Lintang yang kian hari kian manis. Rambutnya tidak lagi sependek terakhir mereka bertemu, lalu pipinya sedikit lebih tirus. Penampilannya yang tidak rapi –seperti biasa, membuat Omar ingin menyudahi basa-basi. "Kamu kok di sini juga?"

"Ha?" Lintang yang sempat bengong karena wajah super ceria Omar, menggelengkan kepala. "Jemputin tamu." Lintang sudah kembali konsentrasi setelah sempat konslet saking terkejutnya. Tiba-tiba dia ingat perkataan Ibu ketika awal semester dirinya kembali ke Yogyakarta.

Kalau ada laki-laki yang minta kamu ke Ibu, kira-kira kamu mau gak, Tang? Anaknya keliatan dari keluarga baik-baik, kalian juga udah kenal.

Lintang kan jadi berpikir yang tidak-tidak soal Omar. Ditambah, dia pernah dua kali mendapat pesan di line dari laki-laki itu, tapi diabaikannya. Lintang sedang berusaha move on dari semua laki-laki yang pernah di taksir. Patah hati itu melelahkan, dia tidak mau terulang lagi.

"Jemputin?"

"Iya." Lintang buru-buru menggeleng sekali lagi, duh di saat seperti ini kok malah sempat-sempatnya bengong sih, Lintang??

"Oh," Omar menengok ke belakang. "Sepi, udah nemu tamunya?"

Lintang menggeleng, "ibu-ibu sih, tapi yang mana ya?"

Them - A Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang