Eve For Adam [ 3 ]

1.3K 303 19
                                    

Tuan Abram menatap lekat putra satu-satunya yang tengah sibuk menatap diktat. Wajahnya nampak diliputi kebosanan yang tidak ia tutupi. Besar rasanya ia ingin diperhatikan, namun putra sulung yang didapatnya dari istri berwarga negara Korea ini seakan bergeming. Hampir luput memperhatikannya.

"Kau lupa Dad di sini?" Tuan Abram mulai merajuk. Berada di Itaewon, berjalan-jalan sendiri, mengenal lingkungan seorang diri telah dilaluinya. Ia yang memang bukan warga asli Korea lebih suka menggunakan istilah berkunjung dibandingkan stay. Bagaimanapun ia memang hanya mengunjungi putra sulungnya ini. Masih ada dua putrinya di Toronto sana.

"Maaf, Dad. Mahasiswaku harus berhasil lulus periode ini. Mereka menyita banyak waktuku."

"Tapi kan kita sedang berlibur Adam!"

Lelaki setengah Asia bernama Adam terpaksa menutup bukunya. Ia hapal betul jika Tuan Abram di hadapannya ini memang membutuhkan perhatiannya.

"Mengapa Dad tidak mengajak Mom ke sini? Bukankah Mom cukup mengerti daerah ini dibanding Daddy?"

Tuan Abram mendelik, ingin sekali ia menimpuk kepala putranya dengan buku tebal di hadapannya. Buku diktat bertuliskan Clinical Psychology yang sepertinya membosankan, memuat beratus ribu kata yang membuatnya mual. "Adikmu masih membutuhkan pengawasan di sana. Kau lupa?"

"I knew it, Dad. Maka dari itu jangan merajuk padaku. Malam ini saja, biarkan aku menyelesaikan memeriksa draft-draft ini. Kumohon?"

Tuan Abram mengerjapkan kedua kelopak mata, lalu mendengus kecil. "Kau bahkan tidak mengomentari appeltaart pemberianku."

Kling!

Belum sempat sang Adam menjawab, terdengar suara dari pintu depan.

"Jeon Jungkook-ssi, ada salah satu mahasiswa ingin menemui. Bagaimana?"

Tuan Abram menolehkan kepala, menatap lekat Jinwoo si asisten putranya.

"Aku akan menemuinya nanti, minta ia menungguku, Jinwoo-ssi."

"Nde, algeseumnida!"

Tuan Abram membalikkan tubuhnya, masih dalam posisi menyandar pada sofa panjang ruang konsultasi putranya. "Terasa aneh mendengar seseorang memanggilmu dengan nama Korea."

Jungkook tersenyum kecil. "Mom yang memberiku nama Korea."

"Tetap saja aneh. Adam lebih pantas untuk putramu yang paling tampan!"

"Yeah, Dad, aku sudah dewasa. Lagipula aku telah menjadi warga di kota ini. Wajar kan mereka memanggilku dengan nama Jungkook."

Tubuh Tuan Abram ditegakkan, ia tidak keberatan. Hanya terdengar asing di telinganya. Sekarang bukan saatnya berdebat tentang sebuah nama panggilan. Lalu ketika ia ingat nama panggilan, justru pikirannya kembali tergelitik pada sosok Yerim, sang Eve pilihannya. "Ah iya, bagaimana appletaart-nya?"

Jungkook terdiam sesaat, benar-benar tidak tertabk arah pembicaraan ayahnya ini. "Lezat, sudah kuhabiskan. Thanks, Dad."

"Benarkah? Kau menyukainya?" Mata Tuan Abram berbinar.

"Begitulah. Memang kenapa?"

"Kau tahu, seorang gadis membuatnya khusus untukmu."

Jungkook menatap curiga ayahnya. "You kidding me."

"No I'm not, Son. Nona manis itu sengaja membuatnya untukmu setelah kuberitahu namamu."

"Maksudnya?"

"Dia bernama Nona Eve, membuatkan kue untuk seorang Adam. Bukankah ini indah?"

Jungkook menahan tawanya, melihat wajah takjub berlebihan ayahnya sungguh membuatnya ingin terbahak. "Dad sedang bermimpi ya?"

Tuan Abram akhirnya tergelak. Ia cukup geli dengan ucapannya sendiri. "Tapi bagus 'kan?"

Jungkook menutup halaman terakhir draft kedua yang ia baca. "Aku yakin Dad yang memaksanya memakai nama Eve."

Tuan Abram kembali tersenyum. "No, dia memang Eve. Aku tahu itu."

Senyum Jungkook memudar, berganti dengan wajah heran. "Dad merindukan Mom?" Selidiknya. Ia semakin meyakini jika tingkah absurd ayahnya akibat terpisah jarak ribuan mil dari sang ibu.

"Kau ini selalu mencurigaiku," protes Tuan Abram.

"Bukan begitu juga."

"Padahal aku yang meyakinkan ibumu untuk memberimu ijin kembali ke Korea. Namun nihil, kau bahkan belum mengenalkan gadis Korea impianmu padaku."

Jungkook melipat kedua tangan di atas meja, menyimak protesan lucu ayahnya.

"Kali ini kau harus bertemu dengannya. She's pretty." Tuan Abram mengangguk mantap.

"Oh mulai lagi." Jungkook mengeluh, di usia menginjak dua puluh tujuh tahun, ia masih malas berkencan dengan wanita. Kesibukannya sebagai konselor sekaligus pengajar sebuah universitas membuat pikirannya terpusat pada pekerjaan.

"Besok kau luangkan waktu untukku, atau aku akan kembali ke Toronto secepatnya."

Jungkook menghela nafas panjang, ia sangat kenal perangai sang ayah yang sering bertingkah hiperbolis dibandingkan sang ibu. Bagaimanapun, Jungkook tetap menaruh hormat setinggi-tingginya pada Tuan Abram. Ayah yang selalu ada untuknya sedari kecil. Orang tua sekaligus teman yang menyenangkan.

"Memang dimana Dad bertemu dengan Eve itu?"

Tuan Abram menatkan kedua alisnya, mengurungkan ancaman lanjutan. Mengetahui putranya setuju membuatnya lega seketika. Ia merasa menang.

"Kita akan mengunjunginya esok."

"Baiklah, kuharap tidak mengecewakan."

"Maksudmu?"

"Siapa tahu gadis itu menolak kedatangan kita."

"Aku tahu bagaimana bersikap, anak muda."

Jungkook mengulum senyum, melihat wajah ceria ayahnya membuat ia berpikir jika kali ini sepertinya akan lebih serius dibandingkan sebelumnya.

"Eve for Adam, bukankah itu indah?" Tuan Abram bergumam kecil. Ia bahkan tidak mengerti mengapa secepat itu menyukai gadis yang selama tiga hari berturut-turut dilihatnya. Hanya intuisi yang menuntunnya.

"Dad ini suka sekali berimajinasi." Jungkook berjalan melewati tubuh ayahnya. Mahasiswanya sedari tadi menunggu. Rasanya ingin sekali ia menyelesaikan secepatnya sesi bimbingan malam, lalu beristirahat dalam tidur. Bukankah esok ia harus tampak tampan, seorang Eve sedang menunggunya. Setidaknya itu yang sedang digambarkan ayahnya malam ini.

Them - A Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang