Bintang Kejora [8]

999 219 78
                                    

Kemarin Omar ditinggal Lintang di stasiun. Karena tahu dia bersalah, Omar berusaha untuk mengalah ketika Lintang memesan ojek online. Omar baru tahu kalau sebetulnya Lintang baru saja sembuh dari sakit magh yang sempat kambuh kemarin. Kalau tahu perempuan itu masih dalam tahap penyembuhan, mungkin Omar tidak perlu mengerjai minta dijemput. Toh sekarang dia menginap di rumah kawan kuliahnya dulu. Dan lagi, Omar cukup hafal jalanan Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk wilayah Sleman dan Gunung Kidul. Tanpa bantuan Lintang juga dia tidak akan kesasar.

"Marahan terus gak baik loh, Tang."

Kan belum lebih dari tiga hari, masih sah. Lintang menatap ke samping, pada jalanan yang membawa keduanya menuju Spot Riyadi di wilayah Sleman. Meskipun dengan muka masam saat dijemput di suatu tempat -karena tidak mau Omar tahu di mana kos-kosan tempat dia tinggal, Lintang menuruti permintaan Mas Dhamar yang mengatakan kalau Omar sengaja datang mengunjungi Lintang. Sebagai saudara sesama muslim yang baik, meski dengan berat hati, Lintang menurut juga.

"Lambungmu gimana?"

"Udah mendingan," suara Lintang terdengar sangat pelan. Seperti tersangkut di tenggorokan.

"Kalau masih gak enak, kita balik aja gak apa-apa."

"Gak usah," Lintang memalingkan muka ke depan. "Aku gak apa-apa."

Omar tidak enak hati. Dalam hati aslinya kecewa juga, dia kira Lintang akan selesai sesi ngambeknya setelah dia meminta maaf dan menelpon, ternyata harapannya pupus. Lintang masih dalam mode anteng, diam, sangat berbeda ketika di Jakarta dulu.

"Ke arah sini ya?" Omar mengecek gps yang membawa mereka ke tempat yang dimaksud.

"Aku belum pernah ke sana."

"Sama, makanya kita ke sana sekarang." Omar menengok sebentar ke samping. "Gak usah lama-lama, kalau gak bagus kita balik. Biar kamu bisa istirahat."

Mata Lintang mengedip pelan, ditopangnya kepala dengan lengan yang bersandar pada pintu mobil. "Gak apa-apa lama."

"Hem?"

"Kalau tempatnya bagus, gak apa-apa lama."

Omar menatap sekilas wajah sayu Lintang, gadis itu kenapa?

------

"Adikmu udah gede, Dham. Jangan dipaksa kalau dia gak mau."

"Iya, Dhamar tau. Gak ada yang paksain dia harus dekat sama siapa. Tapi kalau ada yang baik, kenapa harus dihindari sih?"

Ibu menggeleng melihat sikap kekeuh Dhamar yang semalam menasehati Lintang panjang lebar via telepon. "Kalau kamu kayak gitu, bisa-bisa Lintang tambah antipati sama Omar. Udahlah, biarin aja ngalir, kayak kamu sama Airin dulu."

"Beda, Bu. Ai kan memang orientasinya menikah."

"Nah udah tahu beda, kenapa harus dipaksain kondisi Ai ke adekmu? Lintang masih dua puluh satu tahun. Dia masih mahasiswa, belum lulus."

"Omar udah mapan, udah siap jadi calon suami yang baik, Insha Allah imam yang baik buat Lintang, bisa jadi panutan kayak Ayah."

"Kamu belum tahu banyak soal Omar kok muji-muji kayak sundul lagit gitu."

Dhamar mencomot ubi rebus di atas meja, "karena Dhamar nanya ke Mas Adi, ngobrol juga sama Omar sekali-kali. Nyambung, baik akhlaknya."

Ibu mengamati wajah serius Si Sulung yang akan menjadi wali nikah Lintang nantinya. Beliau tahu saking sayangnya Dhamar kepada Lintang, putra satu-satunya itu pasti ingin yang terbaik untuk sang adik.

"Dham."

"Iya?"

"Doain aja, kalau udah jodohnya Lintang, minta Allah dekatkan buat adikmu."

Them - A Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang