Lintang Pambayun
_
Perempuan itu berjalan dengan langkah sedang menuju kediaman sang kakak. Rasanya sudah tidak sabar mau menguyel keponakan yang lagi lucu-lucunya. Sepertinya baru kemarin Biru lahir, sekarang sudah dua tahun saja. Batita montok itu terlihat semakin menggemaskan dengan dua kuncir kuda, disertai baju lengan pendek dan bau telon. Meski Lintang jarang sekali berkunjung -karena dia kuliah di Yogyakarta, Biru mengenal baik tantenya.Lintang kini berjalan sendiri setelah melewati pos satpam. Dengan setelan kemeja kedodoran, celana jeans, sepatu kets serta memanggul ransel, Lintang bersenandung kecil meniru lagu yang kini terdengar di telinga. Earphone menempel dengan volume yang tidak keras. Jaga-jaga kalau ada kendaraan supaya tetap waspada.
Kretek!
Lintang mengerjap, keningnya berkerut saat mendengar suara kayu patah. Pelan ia lepas earphone tanpa menoleh. Ada suara derap kaki melangkah mengikuti.
Siapa?
Jalan menuju rumah sang kakak kenapa tiba-tiba terasa jauh sih? Mana sosok di belakangnya seperti sedang menguntit. Jangan-jangan orang jahat.
Lari ah!
Duer!
Lintang maunya lari tapi suara petir membuatnya kaget setengah mampus. Dia melupakan fakta kalau langit sore ini mendung tebal, harusnya naik ojek saja tadi. Bodohnya kamu, Tang!
Duer!
Astaghfirullah! Lintang menutup dua telinga, tanpa sadar kakinya melangkah cepat sampai berlari. Tapi yang membuat ia semakin kaget, ada suara orang semakin mendekat. Lintang semakin kalut!
Ya Allah, tolong!
Semakin Lintang berlari, di belakangnya tak mau kalah berlari. Maunya Lintang ambil ponsel telepon sang kakak, tapi petirnya ngeri. Dia takut kesetrum.
Tes, tes, bres!
Hujan!
Lintang berdecak, satu belokan lagi sampai. Dia berlari tanpa peduli siapa di belakangnya. Namun di tengah Lintang berlari, ada tiga mahluk yang ia kenal berada di taman mau melarikan diri juga dari hujan.
Biru, Mbak Ijah? Dan satu lagi, Lintang lupa namanya. Teman main Biru. "Hujan, Mbak!!"
"Mbak Lintang, ini Dek Sa gak mau pulang rumah."
Lintang gelagapan saat hujan semakin deras, tanpa aba-aba, ia langsung mengambil tubuh Biru dan hendak menyusul balita satunya yang malah lari-larian di bawah hujan. Duh! Ini orang tuanya pada ke mana sih?
"Eh, eh.. Genta mau dibawa ke mana?" Tiba-tiba Mbak Ijah berteriak panik saat tubuh Genta sudah digendong seorang laki-laki.
"Hei, kamu siapa?" Lintang langsung beralih mengejar Genta yang berada di gendongan. Terjadi kejar-kejaran mengarah ke rumah lain.
"Penculiiik! Tolong!"
Mbak Ijah berteriak, spontan Lintang ikut teriak sambil mengejar bersama Biru di gendongan.
"Brentii!" Lintang berteriak sekencang mungkin, membuat pemuda tadi berhenti di depan pagar rumah seseorang.
"Lepasin anak saya!" Lintang nekat, diambilnya paksa Genta, tapi ternyata susah. "Kamu ambil anak orang sembarangan!"
Pemuda tadi terlihat kaget, tapi tangannya yang kokoh masih memegang erat Genta dalam gendongan. "Anda siapa? Kok ngaku-ngaku jadi ibunya." Suaranya terdengar tenang meski wajah Lintang galak sekali.
"Kak Genta, sini ikut Mbak Ijah." Mbak Ijah yang bertugas menjaga dua batita terlihat takut-takut. Hujannya juga rese, semakin deras saja. Basahlah baju mereka.
"Pengasuhnya Genta mana?" Pemuda itu bertanya.
"Saya pengasuhnya, siniin Gentanya." Lintang menyerahkan Biru pada Mbak Ijah, tangannya terulur mengambil tubuh Genta. Anak itu malah diam saja, duh! Kamu mau diculik, nak!
"Bentar, bentar." Tangan kiri pemuda itu terulur defensif. "Anda-anda ini siapa?"
"Lha kamu siapa? Kok gendong-gendong anak saya!"
Alis pemuda itu bertaut, "Mas Adi nikah lagi? Kok gak ngabarin?"
"Saya gak kenal Mas Adi, siniin Gentanya atau saya teriak nih!"
Ngaku-ngaku nih orang. Pemuda itu berdecak kecil, dilihatnya wajah Genta yang ikut bingung. "Genta kenal ibu ini gak?" Jarinya menunjuk pada Lintang.
Semua tertuju pada bocah berusia empat tahun itu. "Enggak." Genta terlihat ragu, dia lupa-lupa ingat.
Nah, kan. "Genta kenal adik itu?"
"Dek Sa, Mbak Ijah." Jawabnya menunjuk yang dimaksud. "Turun, Om. Genta mau pulang ke rumah Bunda Ai."
Bunda Ai? Siapa lagi? Pemuda itu menurunkan tubuh Genta.
"Sini, Kak Genta. Ikut Mbak Ijah."
Suasana mendadak hening, kecuali suara hujan yang masih berisik. Mereka berada di depan pagar rumah Adiatma omong-omong, rumah papanya Genta.
"Rumahmu di sini, Genta." Pemuda itu membujuk Genta.
Bocah laki-laki itu menggeleng, "Papa belum pulang, Om Omal."
"Kamu siapanya Om ini, Genta?"
"Saya adik Mamanya Genta, anda siapanya Mas Adi?" Pemuda itu langsung menyela pertanyaan Lintang.
"Mas Adi itu.. siapa?" Lintang seolah bertanya pada Mbak Ijah. Apa dia salah taktik tadi?
"Papaku, Tante." Genta menepuk dadanya. "Itu Om Omal," tunjuk Genta pada pemuda yang tingginya jauh dari Tantenya Biru.
Eh? Tapi kalau dilihat lagi.., kok mirip Genta? Lintang mengumpat dalam hati, tengsin tauk.
"Udah jelas kan siapa saya?"
"Om Omal ya namanya?" Mbak Ijah manggut-manggut.
"Omar, Bu. Genta kebiasaan panggil Om Omal." Pemuda itu meraih tangan Genta. "Terus Mama wanna be Genta ini siapa?"
Lintang malu, Ya Tuhan!
KAMU SEDANG MEMBACA
Them - A Short Stories
Fiksi Penggemar[Tamat] Ini adalah kumpulan kisah tentang mereka yang mencinta. - Them | Mereka -